KULKUL atau kentongan merupakan salah satu alat komunikasi di kalangan
warga anggota organisasi tradisional di Bali seperti desa pakraman (desa adat),
banjar adat, subak dan berbagai seka. Kulkul
terbuat dari kayu dan biasanya dibuatkan tempat tersendiri dengan posisi di
sudut banjar dan berada di ketinggian. Namanya, bale kulkul.
Lazim dikenal,
jika kulkul dipukul saat mengumpulkan
warga di banjar atau pura. Menurut pakar hukum adat Bali
asal Fakultas Hukum (FH) Unud, Wayan P. Windia dalam buku Danda Pacamil: Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali, suaran kulkul (cara memukul kentongan dan
untuk apa kentongan dipukul) dapat dibedakan menjadi tiga, yang disebut tri brata sandining kulkul (tiga ketentuan membunyikan kulkul) yaitu dharma, sila dan sasana. Dharma artinya kulkul
dibunyikan untuk keperluan upacara di pura. Sila
artinya kulkul dibunyikan untuk
keperluan kemasyarakatan dan sasana
artinya kulkul dibunyikan untuk
keperluan menolong sesama.
Warga Tenganan di salah satu bale adat dalam suatu upacara (balisaja.com/sujaya) |
Di Desa Adat
Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem, fungsi kulkul tampaknya sedikit berbeda. Suaran kulkul di desa ini tidak hanya dipahami sebagai
pertanda mulai berkumpulnya krama (warga) di bale banjar
atau bale desa. Kulkul di desa ini
mempunyai dua fungsi utama yakni pertanda pergantian hari yakni dari malam
menjadi pagi serta pertanda terjadinya musibah seperti kebakaran atau bencana
alam.
Kulkul yang berfungsi
sebagai pertanda pergantian hari dinamakan kulkul
pangelemahan. Kulkul pangelemahan
dipukul penyarikan desa tepat pukul
06.00. Kulkul pangelemahan dipukul
sebanyak 21 kali.
Pagi hari di
Tenganan tidak dimulai pukul 00.00, tetapi pukul 06.00. Kalau kulkul pangelemahan dipukul, berarti
hari sudah pagi dan warga mulai beraktivitas.
Di Tenganan
memang ada pembagian tugas sebagai saya
atau penyarikan sebulan sekali atau
30 hari sekali. Jumlahnya empat orang. Merekalah yang bertugas memukul kulkul pangelemahan.
Saya ini pula yang
bertugas untuk mengumpulkan krama
desa. Mereka biasa disebut saya ngatag.
Saya ngatag ini akan mendatangi
rumah-rumah krama desa menyampaikan
acara pertemuan di bale agung atau
pun ada kegiatan-kegiatan lainnya di desa.
Mereka wajib pengarah ke rumah-rumah krama desa. Krama desa yang didatangi wajib ada di rumah. Kalau krama desa tidak ada di rumah, yang
salah krama desa.
Karena itu, ada
kesan yang berkembang bahwa warga Tenganan pantang menginap di luar desa.
Sejatinya, hal itu dimaksudkan agar bila ada pekerjaan mendadak di desa, krama desa tidak sampai absen. Krama desa yang dimaksud ini adalah krama desa yang memiliki hak sangkep (rapat desa) di Bale Agung atau semacam krama ngarep (warga asli atau warga utama). Krama ngarep itu juga wajib ikut pesangkepan
(rapat desa) yang
rutin dilaksanakan setiap malam.
Namun, bila ada
hal-hal yang bersifat khusus seperti kondangan ke luar desa atau ada anggota
keluarga yang menjalani rawat inap di rumah sakit sehingga mesti ditunggui, krama ngarep tersebut diizinkan untuk
absen. Namun, terlebih dulu krama desa tersebut mesti menyampaikan kepada kelihang desa (pemimpin adat di desa).
Kendati begitu, bukan
berarti tidak ada kulkul yang berfungsi
sebagai pertanda mengumpulkan warga seperti lazimnya di desa-desa adat lainnya
di Bali. Kulkul jenis ini terdapat di
Banjar Pande. Di banjar yang merupakan kelompok warga Tenganan yang terkena
sanksi –umumnya karena menikah dengan warga luar Tenganan—itu warga berkumpul
bila kulkul dibunyikan. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar