Ketut Lacur menyudahi hari itu dengan hati tenteram. Tak tahu dia tragedi tengah menunggunya di sana, di ujung malam.
![]() |
Kue. (balisaja.com/pixabay.com) |
Hari ini cuaca terik luar biasa. Sang Surya menghajar
alam semesta tanpa ampun, tanpa kenal iba. Memanggang siapa saja yang naif
menantangnya. Sengat sinarnya membakar raga, menyilaukan mata, kepala serasa
ingin meledak dibuatnya. Hanya lelaki pekerja keras bermental baja yang sanggup
bekerja di jalanan pada cuaca membara bak di Gurun Sahara. Ketut Lacur adalah
salah satu orangnya. Bagaimana mau tidak sanggup? Ada dua perut kosong tengah
menunggu di rumah minta diisi. Malah perutnya sendiri juga keroncongan.
Seharian berada di jalan, Ketut Lacur belum mengunyah apa-apa lagi sejak
sarapan jaja laklak tadi pagi. Panas dan lapar, dua derita yang
ditanggungnya saat ini.
Kendati begitu, Ketut Lacur masih sabar menunggu. Tak
terbilang sudah berapa kali dia menjamah hp. Sekian kali dibuka, sekian kali
dia harus menelan kecewa. Di trotoar itu, di pokok pohon perindang jalan dia
terenyak. Dengan selipat koran bekas, dia halau gerah dari tubuhnya yang kuyup
berkeringat. Jaket hijau seragam dinasnya yang sudah lusuh dan koyak dimakan
matahari teronggok tak berguna di stang motor.
Nasib baik memang tidak memihaknya hari ini. Sejak
keluar rumah dari jam 9 pagi tadi, Ketut Lacur baru dapat satu orderan.
Ongkosnya pun cuma sepuluh ribu rupiah. Untuk beli bensin saja habis. Beberapa
kali dia pindah lokasi, orderan tak kunjung menghampiri. Oh, kenapa rezeki
begitu susah dicari, keluhnya dalam hati. Kalau boleh menangis, ingin dia
menangis. Tapi menangis pun tidak akan memperbaiki situasi. Jadi buat apa menangis.
Maka dia bekap wajahnya yang kusam berminyak dengan kedua telapak tangan, lalu
ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat, berharap beban berat
yang menggelayut ikut tersembur keluar dan menguap dari rongga kepalanya.
Jalanan di depannya masih ramai. Mobil, motor,
pesepeda, pejalan kaki, hilir mudik lalu lalang. Ketut Lacur melihat semua
orang sibuk dan tidak ada kelihatan senyum. Bagaimana mau kelihatan senyum,
sementara dari lubang hidung hingga dagu ditutupi masker. Besar, kecil, tua,
muda, semua bermasker. Katanya supaya tidak kena penyakit. Penyakit yang
diyakini Ketut Lacur hanyalah konspirasi.
Kemudian dia termenung. Mengenangkan lagi waktu-waktu yang
sudah berlalu. Seandainya dunia tidak mengalami pandemi, tentu kini dia masih
sentosa bekerja di hotel bintang lima di Kuta sana. Memakai seragam bersih, rambut
tersisir rapi, wangi, dan tidak payah berjemur seperti yang dideritanya saat
ini. Meski hanya sebagai karyawan kelas rendah, yang sehari-hari hanya berkutat
dengan lap, sapu, dan debu, dia masih bisa mencukupi nafkah keluarganya. Cukup
bisa tenang untuk urusan isi perut dan bayar kontrakan. Juga masih bisa mengisi
celengan walau tak banyak.
Kini, gering agung berkepanjangan membuat
perekonomiannya oleng. Pariwisata lumpuh total dan dia harus menerima kenyataan
pahit: di-PHK alias dirumahkan. Getir dia menyadari tidak punya lagi payuk
jakan.
Saat awal-awal dirumahkan, Ketut Lacur masih bisa
bertahan dengan sedikit tabungan. Hari demi hari tanpa pemasukan, tabungan pun
terkuras untuk biaya kebutuhan. Ketut Lacur mulai kocar-kacir. Apalagi sudah
setahun lebih, belum tampak tanda-tanda pariwisata akan bangkit dan berjaya
seperti sediakala. Dia pun memutuskan banting setir, hengkang dari dunia
pariwisata. Kini Ketut Lacur berkiprah di bidang perhubungan sebagai pengemudi ojol
alias ojek online.
Hp di genggaman tiba-tiba berbunyi, menyentak Ketut
Lacur dari lamunan basi. Ada pemberitahuan masuk. Bergegas dia membuka hp,
kiranya ada orderan masuk. Agar ada tambahan ongkos, untuk sekadar membeli lauk
untuk makan nanti bersama istri dan anaknya yang seorang. Namun sayang seribu
sayang, ternyata hanya SMS penipuan berkedok menang hadiah undian. Ketut Lacur
jengkel. Pasalnya, SMS tak senonoh semacam itu sering nyelonong masuk ke nomornya.
Diam-diam Ketut Lacur berharap ada menteri di republik ini yang bisa menangani
kejahatan itu lalu menciduk oknum-oknum culas pelakunya.
Sekian lama, lelah juga Ketut Lacur menganggur.
Setengah putus asa, dia melirik jam tangan. Jam tangan yang jarumnya sudah lama
ngambul. Jarum panjang mogok di angka
9, jarum pendek terkulai di angka 11. Lalu mengapa dia masih memakai jam tangan
memprihatinkan itu? Rupanya angka digitalnya masih menyala. Samar-samar
terlihat angka 17.30 di sana. Berkedap-kedip lemah, serupa dengan kondisi pemakainya.
Lapar kian terasa. Sebaiknya aku pulang saja, putusnya.
Ketut Lacur berdiri dan sedikit limbung lantaran
kakinya gemetar. Dia pakai jaket hijau seragam dinasnya dan sudah bersiap-siap
untuk memacu motor ketika seorang perempuan menghampirinya.
“Pak, bisa antar barang?” si perempuan bertanya. Pucuk
dicinta, ulam tiba.
“Iya, barang apa, Gek? Diantar ke mana?” Ketut
Lacur balas bertanya.
“Makanan, Pak. Diantar ke alamat ini, rumahnya sebelah
bale banjar,” si perempuan menyerahkan secarik kertas berisi nama dan
alamat.
Ketut Lacur membaca tulisan di secarik kertas
tersebut. Kepalanya mengangguk pelan tanda dia tahu alamat tersebut. Belum diiyakan,
si perempuan sudah membuka dompet lalu menyodorkan selembar uang biru bergambar
pahlawan nasional Bali, I Gusti Ngurah Rai. “Minta tolong ya, Pak. Ini
ongkosnya. Cukup, kan?”
Mata Ketut Lacur berbinar demi melihat selembar lima
puluh ribuan. Hatinya tidak kuasa menolak.
"Iya, tentu saja bisa. Ini uangnya semua untuk
saya?"
Si perempuan menggangguk. Senyum Ketut Lacur merekah.
Dari pagi dia sudah mencari dan kini rezeki itu datang sendiri. Ah, astungkara.
Sering didengarnya orang-orang berkata 'semua akan indah pada waktunya',
mungkin inilah maksudnya.
Si perempuan menyerahkan barang berbungkus kresek
hitam yang konon berisi makanan. Ketut Lacur menerimanya dengan gestur
menandakan dengan senang hati. Di dalam kresek hitam, Ketut Lacur merasakan sebuah
kotak. Makanan apa gerangan isi kotak itu? Ketut Lacur tidak bertanya lagi, pun
tidak menaruh curiga.
“Kalau ditanya dari siapa, saya bilang apa?”
“Bilang dari Mala.”
“Siap. Saya berangkat sekarang.”
Ketut Lacur meluncur menuju alamat pengiriman. Hatinya
senang bukan buatan. Lupa dia akan lapar. Lima puluh ribu tentu jumlah yang
lumayan. Sungguh kalau memang rezeki tidak ke mana. Sudah ditakar, tidak
mungkin tertukar.
Setelah beberapa kali belok kanan-belok
kiri-lurus-kemudian belok lagi, Ketut Lacur tiba di alamat tujuan. Berdiri dia
di depan sebuah rumah style bali yang bersebelahan dengan bale banjar.
"Om swastiastu, ada kiriman untuk Putu
Rai!" Ketut Lacur mengucapkan salam dan memanggil penghuni rumah dengan
suara lantang macam pemimpin barisan. Tak lama, dari dalam rumah muncul lelaki
muda.
"Nggih, tiang Putu Rai. Kiriman apa
pak ya?"
"Anu, dibilangnya sih makanan," Ketut Lacur
menyerahkan kresek hitam tersebut.
"Makanan? Tiang tidak ada pesan makanan.
Siapa yang ngirim?" Si lelaki mengernyitkan dahi, bingung.
"Perempuan. Namanya Mala."
"Mala? Mala
siapa?"
"Tadi bilangnya cuma Mala. Tidak dikasih nama
lengkap."
Laki-laki itu penasaran. Siapa gerangan perempuan yang
mengiriminya makanan? Seingatnya dia tidak punya sahabat atau kerabat bernama
Mala. Sembari mengingat-ingat, lelaki berkacamata itu membuka kotak kertas di
dalam kresek hitam. Setelah dibuka, laki-laki itu tertegun! Raut wajahnya
berubah. Isinya ternyata kue terang bulan!
"Luh Kumala," laki-laki itu berbisik pada
dirinya sendiri. Kemudian dia tersenyum, "Pak, saya ingat. Pengirimnya
pasti Luh Kumala, dia tahu saya suka terang bulan."
"Baguslah kalau sudah ingat," Ketut Lacur
lega.
"Tapi saya juga baru saja beli terang bulan. Itu
di dalam masih ada, belum habis. Supaya tidak mubasir, ini buat bapak
saja."
"Wah, tidak usah. Itu untuk Anda."
"Kalau bapak tidak mau, nanti tidak ada yang
makan. Kan kasihan kalau terbuang. Mending untuk bapak bawa pulang."
"Hmm... Benar untuk saya?" Ketut Lacur
malu-malu kucing.
"Iya, untuk bapak."
Ketut Lacur berpikir memang tidak bijak menyia-nyiakan
makanan. Apalagi di masa sulit seperti sekarang. Dan tidak sopan juga menolak
pemberian orang.
"Terima kasih kalau begitu," ucapnya sambil
tersenyum sumringah.
"Sama-sama."
Dalam perjalanan pulang, Ketut Lacur mengucap syukur
atas rezekinya hari ini. Selain dapat uang, dia juga ketiban makanan. Ternyata
nasibnya tidak benar-benar buruk. Terang bulan pemberian itu akan dibawanya
pulang. Dia sudah membayangkan betapa anaknya akan senang mendapat gapgapan.
Benar saja. Sampai di rumah, Ketut Lacur langsung
disambut anaknya yang semata wayang.
"Bapak bawa apa itu?"
"Oleh-oleh untuk anak bapak tersayang."
"Horeee!" seru sang anak girang.
Sang istri juga senang suaminya sudah pulang.
"Mau ngopi dulu atau langsung makan?" tanyanya penuh perhatian.
"Ngopi saja dulu, mumpung ada terang bulan,"
jawab Ketut Lacur lembut pada istrinya tersayang.
Dia pun duduk di sebelah anaknya. Diperhatikannya sang
anak begitu lahap menikmati terang bulan, macam tiga hari tidak makan.
"Enak, Nak?"
Si anak mengangguk. Bibirnya penuh berlumuran coklat.
"Kalau begitu harus habis ya."
Kopi buatan istri datang, Ketut Lacur urung mengambil
terang bulan. Tak sampai hati dia mengganggu kesenangan anaknya. Biarlah nanti
aku minta kalau bersisa, pikirnya. Selain pekerja keras bermental baja, Ketut
Lacur juga sosok laki-laki penyayang keluarga. Sayang betul dia pada anaknya. Baginya,
kebahagiaan anak adalah yang utama.
Begitulah akhirnya malam turun menggantikan siang.
Ketut Lacur menyudahi hari itu dengan hati tenteram. Tak tahu dia tragedi
tengah menunggunya di sana, di ujung malam. Tragedi yang tak pernah
terbayangkan. Tragedi yang menyengsarakan hati melebihi pandemi. Ketut Lacur
yang malang harus tabah kehilangan.
***
Nun di sana, di sudut kamar, Luh Kumala tertunduk
menyendiri bermuram durja. Matanya semerah saga, wajahnya dibanjiri air mata,
rambutnya kusut masai macam diterpa bencana. Kacau, kecewa, dan merana. Itulah
yang sedang melandanya. Hatinya hancur berantakan. Terisak-isak dia menangis.
Putu Rai, laki-laki yang amat dicintainya, tega
berkhianat! Jalinan asmara sekian tahun kandas lunas setelah dia berpaling ke
perempuan lain, meninggalkan perih hati yang tiada tertanggungkan. Sakit
sekali. Rasa sakit yang menjelma dendam kesumat. Jika dia tidak bisa memiliki
laki-laki itu, perempuan manapun tidak boleh bisa! Maka dia mengirim terang
bulan itu untuk sang mantan kekasih. Terang bulan yang telah dilumuri cetik
alias racun mematikan. Astaga!
Luh Kumala telah mengirim malapetaka. Tangisnya
seketika berganti tawa. Tawa histeris seorang perempuan yang terluka dan putus
asa. Dia puas sudah melakukannya. Dia sudah berhasil menghabisi laki-laki tak
setia itu. Dia merasa sudah berhasil.
"Ha-ha-ha... Ha-ha-ha... Aaaarrrgghhh!" Luh
Kumala lupa diri dan terus saja tertawa seakan gila. (b.)
_____________________________________________
I MADE
ARIYANA, guru bahasa dan sastra
Indonesia di SMP 9 Denpasar. Menulis cerpen sejak duduk di bangku kuliah.
Cerpen-cerpennya pernah dimuat di DenPost edisi Minggu.
_____________________________________________
Penyunting: I
MADE SUJAYA
COMMENTS