Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Bali Jani · 6 Sep 2020 23:38 WITA ·

Ubud, “Anak Emas” Batur


					Ubud, “Anak Emas” Batur Perbesar

 

Ubud sebagai sebuah desa telah berkembang cepat menuju sebuah kawasan elite pariwisata nasional dengan segudang prestasi kelas dunia. Citra utama Ubud, tentu saja kebertahanan budaya Bali dan keindahan alamnya. Hal itu tak lepas dari tingkah laku keseharian masyarakat Ubud yang berangkat dari konsep agraris. Areal pertanian Ubud dikenal subur. Kesuburan itu tidak bisa dipisahkan dari aliran air melimpah yang dipahami masyarakat Ubud sebagai pasuecan Ida Sane Maduwe Toya. Dalam konteks ini, relasi eko-spiritual Ubud dan Batur menjadi faktor penting. Bahkan, para tetua Ubud mengistilahkan Ubud sebagai “anak emas” Batur.

 

“Kalimat tersebut sangat membekas dalam sanubari masyarakat Ubud kebanyakan dari dahulu,” kata Tjokorda Gde Dharmaputra Sukawati, tokoh Ubud yang juga akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) dalam rembug sastra yang digelar Ubud Royal Weekend dan Puri Anyar Heritage, Sabtu (5/9). Selain Tjokorda Dharmaputra juga tampil IK Eriadi Ariana yang juga Jero Penyarikan Duuran Batur.

 

Menurut Tjokorda Dharmaputra, mengenali Ubud sesungguhnya secara tidak langsung berjelajah mendalami Batur sebagai sebuah daerah yang kental akan hak pemilikan tanah, sumber air dan tradisi yang selalu menjiwai nafas masyarakat pertanian di Bali termasuk di Ubud. Segala bentuk limpahan hasil bumi dipercayai bersumber dari anugerah Ida Bhatari Batur. Melalui pendekatan ilmiah terlihat jelas bahwa peta aliran sungai Yeh Oos dan Ayung yang mengairi sebagian besar kawasan pertanian Ubud bersumber dari Kawasan Danau Batur. Pura Gunung Lebah yang diulas dalam teks Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya pun menyebutkan bahwa desain pemujaan Gunung Lebah yang dibangun untuk memuja kebesaran Ida Bhatari Batur sebagai Dewi Kemakmuran.

 

Peranan Puri Ubud yang memainkan pengaruhnya dari masa pra-kolonial hingga sampai saat ini masih terlihat tampak jelas dalam usaha membangun relasi sekala niskala Ubud dengan Batur. Walau tak sepenuhnya sama seperti era lalu dikarenakan memasuki Jaman Republik, namun harmonisasi dalam bingkai pura, puri, para, pari, dan purana di Ubud telah mampu menyiratkan adanya nilai-nilai romantisme antara Ubud dengan Batur hingga saat ini,” kata Tjokorda Dharmaputra.

 

Sementara IK Eriadi Ariani menyatakan membaca relasi Batur ke Ubud begitu juga daerah-daerah lain di Bali Tengah pada prinsipnya adalah membaca jejak evolusi geologi Batur. Konstruksi-konstruksi ekologi yang dibangun pegunungan Kintamani sejak 29 ribu tahun silam, yang terbukti melalui penelitian-penelitian ilmiah, sejatinya dapat meyakinkan jalan bakti masyarakat Bali terhadap entitas alam semesta yang mewujud sebagai Pegunungan Kintamani. Jika kemudian ada mitos-mitos, tuturan-tuturan, maupun catatan-catatan tradisional yang mengaitkan keterhubungan keduanya, ia merupakan simbolisasi sebaran ekologi.

 

“Berkaca pada data-data itu, relasi yang telah terbangun sejak masa silam hendaknya dapat dijaga untuk kemudian hari. Menjaga keterkaitan itu idealnya disertai dengan pemahaman-pemahaman konsep yang memadai, sehingga relasi yang terhubung bukan sekadar didasari oleh pernyataan nak mula keto, yang ujung-ujungnya berhenti pada tingkatan jejaring ritus,” kata Eriadi Ariana.

 

Di era disrupsi seperti ini, imbuh Jero Penyarikan Duuran Batur, penekanan tentang nilai-nilai perlu diberikan perhatian mendalam. Transformasi bahkan keruntuhan wujud kebudayaan tidak dapat terhindarkan, namun pewarisan nilai-nilai masih sangat bisa untuk dilakukan. Wujud kebudayaan Bali ke depan boleh jadi akan berubah, tetapi esensi pelaksanaannya idealnya tetap jelas seperti sedia kala.

 

Eriadi Ariana mengingatkan keberimbangan pemahaman dengan praktik di lapangan, teks dengan konteks diharapkan dapat mengubah laku-laku beragama dan berbudaya kita menjadi lebih baik. Harapannya, seiring dengan pelaksanaan yadnya-yadnya berbasis pelestarian lingkungan yang kian masif, tak ada lagi pencemaran-pencemaran simpul ekologi. Tidak ada lagi praktik eksploitasi sumber daya alam berlebih maupun praktik membuang sampah di gunung, laut, sungai, hutan, dan ekosistem-ekosistem lainnya. (b.)

 

_____________________________________ 

Teks: Jagadhita

Foto: istimewa

http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI
Artikel ini telah dibaca 30 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat

26 Februari 2024 - 15:18 WITA

Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta

23 Februari 2024 - 23:22 WITA

SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali

17 Februari 2024 - 18:57 WITA

Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak

2 Januari 2024 - 22:14 WITA

Lewat Film “Home”, Sinematografer Bali Raih Nominasi Emmy Awards

15 Desember 2023 - 22:14 WITA

Gairah Berbahasa Bali Mesti Diikuti Pemahaman Mengenai “Anggah-ungguh Basa”

10 Desember 2023 - 22:32 WITA

Trending di Bali Jani