Ubud
ternyata memiliki jejak panjang budaya literasi. Di kampung yang diniatkan
sebagai usadhi desa (desa penyembuh)
ini, lahir sejumlah penyair penting Bali dengan karya-karya sastra terbaik. Di
rumah-rumah warga Ubud pun, ribuan lontar masih tersimpan sebagai warisan monumen
pengetahuan mahaluas bagi generasi kini. Ubud bak kampung literasi yang tiada
henti berdenyut, sejak dulu hingga kini.
Fakta
ini terungkap dalam rembug sastra bertajuk “Rakawi Usadhi Desa: Denyut Spirit
Literasi Ubud di Masa Kuno dan Kini” yang digelar Ubud Royal Weekend dan Puri
Anyar Heritage Ubud, Sabtu (8/8). Rembug sastra itu menghadirkan tiga narasumber,
yakni Ida Bagus Oka Manobhawa (Koordinator Penyuluh Bahasa Bali di Gianyar),
Putu Eka Guna Yasa (dosen sastra Bali di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana), serta Tjokorda Raka Kerthyasa (Bendesa Desa Adat Ubud).
Guna
Yasa yang membawakan makalah berjudul, “Tri Rakawi Usadhi Nagari: Aktualisasi
Pemikiran Ida Putu Maron, Cokorda Gde Ngurah, dan Dokter Rai sebagai Pegiat
Literasi Ubud” mengungkapkan Ubud di masa lampau pernah melahirkan sejumlah
penyair mumpuni. Terdapat tiga sastrawan sebagai pegiat literasi tradisi dari
Ubud yang karya-karyanya dikenal masyarakat luas. Mereka yakni Ida Putu Maron,
Cokorda Gde Ngoerah, dan Ida Bagus Rai.
“Tentu
bukan hanya karena keterbukaan para pengarang itu ketika karyanya disalin yang menyebabkan
banyak masyarakat yang kemudian membacanya, tetapi karena mutu karya-karya sastra
tersebut yang tidak lekang oleh arus waktu,” kata Guna Yasa.
Karya-karya
ketiga pegiat literasi itu terbit dari rentang tahun 1939 hingga 1961. Jika diakumulasikan,
dari rentang tahun tersebut tiga pegiat literasi itu menghasilkan sekitar 17 karya
sastra. Tidak hanya produktif dari segi jumlah, karya-karya sastra yang ditulis
oleh para sastrawan tersebut sampai saat ini masih relevan untuk dijadikan
suluh hidup hingga bekal meraih kematian.
Ida
Putu Maron tidak hanya sebagai seorang sastrawan yang produktif menulis karya
sastra, tetapi juga ikut serta dalam pembentukan lembaga-lembaga
pendokumentasian, pelestarian, dan pengembangan sastra Bali. Dua lembaga yang
ikut didirikannya itu adalah Gedong Kirtya dan Pusat Kajian Lontar, Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Udayana. Sampai saat ini, kedua lembaga yang ikut dibidaninya
itu masih menjadi pilar penyangga peradaban batin Bali. Di dua tempat itu pula,
karya-karyanya bertengger sejajar dengan para rakawi dari masa lalu. Guna Yasa
menemukan enam karya Ida Putu Maron, yaitu Geguritan
Kopasaman, Geguritan Masasuara, Geguritan Nala Damayanti, Geguritan Bali
Tattwa, Geguritan Rasmi Sancaya Edan Lalangon Putra, dan Geguritan Rasmi Sancaya Eda Lalangon
Potraka.
Cokorda
Gde Ngoerah muncul sezaman dengan Ida Putu Maron. Karya-karyanya antara lain, Kakawin Durtamana (Durmanantaka?), Kakawin Gajah Mada, Purna Jiwa, Sudhamala,
serta Kakawin Aji Palayon dan
Geguritan Rajendra
Prasad.
Geguritan Rajendra Prasad memuat
cerita kunjungan Presiden India bernama Rajendra Prasad ke Bali. Usai disambut
di Tuban oleh anak-anak, pada tanggal 14 Desember 1958 rombongan langsung menuju
ke istana Tampaksiring.
Dokter
Ida Bagus Rai merupakan adik dari Ida Putu Maron. Ia putra Bali pertama
bergelar dokter, sekaligus Rektor pertama Institut Hindu Darma. Karya-karya
yang ditulis oleh Dokter Ida Bagus Rai an
Sementara
Ida Bagus Oka Manobhawa membeberkan persebaran lontar yang ada di Kecamatan
Ubud yang berjumlah 1.471. Ini berdasarkan data penyuluh bahasa Bali tahun
2019. Naskah lontar dengan berbagai jenis itu tersebar di 7 Desa dan 1
Kelurahan, tersimpan di perpustakaan keluarga baik di gria, puri, jero serta di rumah masyarakat. Di
lingkungan kelurahan Ubud sendiri persebaran naskah lontar yang tersimpan
sebanyak 718 cakep naskah.
Keberadaan
jumlah lontar ini, kata Oka Manobhawa, sudah mengalami perkembangan yang cukup
signifikan jika dibandingkan jumlah lontar yang tercatat dalam sebuah buku catatan yang ditemukannya
di Puri Kauhan Ubud yang diberi judul pada bagian depan sampul buku,Wastan Rontal Padṛĕwyan Hida Dane, Para Skā Sarapustakā Swaŋ- swaŋ”. Buku itu ditulis
oleh Penglingsir Puri Kauhan Ubud atas penugasan oleh Punggawa Besar Ubud
Tjokorda Gde Soekawati pada kurun waktu 1919 -1920 yang hanya mencatat sebanyak
510 cakep naskah di lingkungan gria
dan puri saja.
“Dalam
lontar-lontar itulah kita menemukan keluhuran cakrawala pemikiran para
pendahulu kita yang dengan sengaja beliau menuliskannya dalam lembaran-lembaran
daun lontar. Sekiranya kita sebagai pewaris dari sebuah tradisi membaca dan
memulis lontar ini, sepatutnyalah kita menjaga, merawat serta melestarikan
keberadaan naskah-naskah lontar tersebut yang merupakan candi-candi keluhuran
pemikiran para pendahulu kita yang adhiluhung,” tandas Oka Manobhawa. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar