Dari Ajang Rembug Sastra “Menuju Wisata Rohani” Putu Eka Guna Yasa (nomor dua dari kiri) menjelaskan makna wisata menurut teks-teks ka...
Dari
Ajang Rembug Sastra “Menuju Wisata Rohani”
Putu Eka Guna Yasa (nomor dua dari kiri) menjelaskan makna wisata menurut teks-teks karya sastra tradisional dalam Rembug Sastra "Menuju Wisata Rohani" di Ubud, Sabtu (18/7).
Teks-teks
tradisional Bali menyuratkan esensi makna wisata sebagai suatu perjalanan untuk
mendapatkan ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa itu sendiri bisa didapatkan oleh
seseorang dengan cara berjalan ke berbagai tempat terutama telaga, hutan,
sungai, laut, dan pesraman atau pertapaan. Ubud sebagai salah satu destinasi
penting di Bali, memiliki keunggulan potensi yang selaras dengan makna wisata
dalam teks-teks tradisional Bali itu. Terlebih lagi, Ubud memiliki makna
sebagai usadidesa atau desa yang
memiliki kekuatan penyembuh. Karena itu, orientasi wisata Ubud mesti
dikembalikan ke hakikatnya sebagai sebagai desa wisata penyembuh.
Pandangan
itu dikemukakan pengajar sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas
Udayana (Unud) Putu Eka Guna Yasa saat menjadi narasumber dalam rembuh sastra
bertajuk “Menuju Wisata Rohani” yang diselenggarakan Ubud Royal Weekend dan
Puri Anyar Heritage, Sabtu (18/7) lalu. Rembug sastra yang dibuka Wakil
Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati itu juga menampilkan
pembicara lain, yakni Ketua BPPD Kabupaten Gianyar sekaligus Ketua yayasan Bina
Wisata Kelurahan Ubud, Tjokorda Gde Bayuputra Sukawati serta GM Monkey Forest
Ubud, Ida bagus Purwadita. Diskusi yang dimoderatori Dosen FEBP Unhi, Cokorda
Gde Bayu Putra itu juga disiarkan secara langsung di instagram.
Menurut
Guna Yasa, karya-karya sastra yang secara tidak langsung memuat konsep wisata
dapat ditemukan dalam Kakawin Ramayana,
Kakawin Hariwangsa, Kakawin Sumanasantaka, Kakawin Bharata Yuddha, Udyoga Parwa, Wrehaspati Tattwa dan yang lainnya. Banyaknya karya sastra yang
memuat kata wisata menunjukkan bahwa aktivitas kewisataan tidak saja dilakoni
oleh manusia yang hidup saat ini. Dari hulu masa lalu, gagasan tentang wisata
telah menjadi kebutuhan manusia yang konon diikat oleh lingkaran keadaan suka, duka, lara, dan pati dalam hidupnya.
“Maka
membaca karya-karya sastra Bali, kita akan mendapatkan gambaran yang terang
bahwa konsep wisata Bali adalah ikhtiar yang terus-menerus untuk bebas
lingkaran itu,” kata Guna Yasa.
Ubud,
kata Guna Yasa, memiliki potensi luar biasa mengimplementasikan makna wisata
sebagai aktivitas perjalanan untuk mendapatkan ketenangan jiwa itu, seperti
adanya Monkey Forest serta Tukad Campuhan. Tempat-tempat itu, kata Guna Yasa,
juga disuratkan dalam teks-teks karya sastra yang ditulis para pengarang Ubud,
seperti Geguritan Rajendra Prasad karya
Cokorda Gede Ngurah dari Puri Ubud pada tahun 1958 yang mengisahkan kedatangan
Presiden India bernama Rajendra Prasad ke Bali khususnya Tampaksiring dan Ubud
yang disambut oleh Soekarno serta Geguritan Bali Tattwa karya Ki Purwa Patra
atau Ida Bagus Maron dari Gria Mangosrami Ubud. Dalam Geguritan Bali Tattwa itulah dijelaskan jenis-jenis air suci yang
ada di sekitar Tukad Campuhan termasuk pula fungsi-fungsinya sebagai penglukat
dan penglebur segala kekotoran fisik dan spiritual.
Bertitik
tolak dari usaha menggali makna wisata dalam karya sastra dan melihat potensi Ubud,
imbuh Guna Yasa, sudah semestinya orientasi wisata Ubud kembali pada fitrahnya
seperti yang disebut-sebut oleh Cokorda Gde Ngurah dan Ki Purwa Patra, dua
pengarang dan pemikir besar Ubud, yakni sebagai usadidesa atau desa yang memiliki kekuatan penyembuh.
“Kita
sebagai generasi kini memiliki tanggung jawab besar untuk menyadari dan memastikan
bahwa setiap individu yang menapakkan kakinya dengan tujuan berwisata ke Ubud mendapatkan
tidak saja kesenangan indrawi yang sesaat, tetapi juga ketenangan batin atau jiwa
yang lebih langgeng,” tandas Guna Yasa.
Wagub
Tjok Aca mengungkapkan Ubud sebagai sebuah destinasi wisata merupakan pertemuan
antara masa lalu dan masa depan. Kalau difilosofikan, imbuh Tjok Aca, seperti
pertemuan akasa maupun perthiwi, pertemuan purusa dan pradhana yang
menghadirkan vibrasi yang menarik bagi Ubud. Tjok Aca mengapresiasi rembug
sastra itu dan mengajak masyarakat Bali untuk menjaga kesehatan dan ketenangan
jiwa di tengah-tengah pandemi covid-19. (b.)
COMMENTS