Penggak Men Mersi, sebuah yayasan kebudayaan yang bermarkas di Jalan WR Supratman 169 Denpasar, mencoba memanfaatkan potensi satua banyol dalam sastra Bali untuk mengenalkan dan mendekatkan bahasa Bali di kalangan generasi milenial dengan menggelar pawimba (lomba) satua banyol.
![]() |
Salah satu kelompok siswa peserta lomba satua banyol serangkaian Pekan Generasi Sadar Aksara (Parasara) yang digelar Yayasan Penggak Men Mersi, Sabtu (8/2). |
Salah
satu hambatan penguasaan bahasa Bali di kalangan anak-anak dan remaja Bali,
yakni kesan serius dan kuno. Di mata generasi milenial, bahasa Bali tidak hanya
dirasakan sulit karena banyak kosa kata yang tak segera bisa dipahami maknanya,
melainkan juga identik dengan hal-hal yang berbau spiritual dan tua.
Padahal,
bahasa Bali bisa digunakan untuk suasana santai dan bahkan menghibur. Jika
dalam tradisi sastra Indonesia dikenal genre cerita jenaka, sastra Bali juga
memiliki satua banyol. Ini
cerita-cerita lucu khas Bali dengan tokoh-tokoh yang karakternya unik.
Penggak
Men Mersi, sebuah yayasan kebudayaan yang bermarkas di Jalan WR Supratman 169
Denpasar, mencoba memanfaatkan potensi satua
banyol dalam sastra Bali untuk mengenalkan dan mendekatkan bahasa Bali di
kalangan generasi milenial dengan menggelar pawimba
(lomba) satua banyol. Lomba digelar
bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Pemuda dan Olah Raga Kota Denpasar
dengan tema “Malajah Mabasa Bali
Mapiranti Masatua Bali, Belajar Berbahasa Bali Melalui Mendongeng Bali”.
Peserta
lomba masatua banyol diwajibkan
menyajikan sebuah garapan pertunjukan drama lucu yang sumber ceritanya dapat
digali dari cerita atau satua Bali yang telah ada atau pun dengan membuat
cerita barfu. “Masing-masing peserta menyajikan garapan dengan durasi 5 sampai
10 menit. Personel dibatasi antara 3—5 orang dengan iringan musik live atau playback.
Lomba
dirangkai dalam kegiatan Pekan Generasi Sadar Aksara itu pun direspons baik
oleh sekolah-sekolah menengah pertama (SMP) di wilayah Kota Denpasar. Tiga
belas kelompok siswa dari 13 SMP di Kota Denpasar pun tampil dengan kreativitas
mereka masing-masing.
Sejumlah
satua yang dipilih para peserta antara lain, “Cupak Grantang”, “Pan Balang
Tamak”, “I Lutung lan I Kakua” hingga “Lomba Desa”. Berbagai kisah lucu itu
disajikan dalam bentuk dramatisasi yang menarik dengan iringan gamelan dan musik.
Mereka berhasil menyajikan kisah-kisah lucu itu menjadi lebih segar hingga
membuat penonton yang hadir terpingkal-pingkal.
Memang,
penampilan para pelawak cilik itu belum sempurna betul. Namun, setidaknya
mereka mulai menyenangi bahasa Bali sebagai medium berkomunikasi. Melalui
dialog-dialog yang mengundang gelak tawa, para siswa SMP itu bakal terbiasa
berbahasa Bali dalam suasana yang santai dan penuh tawa.
Kepala
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kota Denpasar, I Wayan Gunawan, usai membuka secara resmi mengungkapkan
apresiasi terhadap ajang Parasara, terutama lomba satua banyol. “Kegiatan ini
untuk memperkenalkan bahasa Bali di kalangan milenial, sehingga tidak lupa
dengan bahasa ibu,” kata Gunawan.
Salah
seorang anggota dewan juri, Adi Siput mengatakan penampilan anak-anak dalam
lomba sudah baik. Para peserta berhasil membangun kesan awal dan kesan akhir,
sehingga membuat petunjukan itu menarik. Jika mau jujur, semua peserta itu akan
menjadi generasi pelawak Bali.
“Ajang
ini sebagai cara untuk mengajak generasi muda mulai memakai bahasa Bali dalam
komunikasi sehari-hari,” ungkapnya.
Kelian
Penggak Men Mersi, Kedek Wahyudita mengatakan bahasa Bali menjadi unsur
kebudayaan yang sangat penting untuk dilestarikan, namun belakangan ini, di
sekolah bahasa Bali mulai dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit, bahkan
lebih sulit dari Bahasa Inggris. Itu sebabnya, pihaknya mengajak generasi muda
untuk terbiasa menggunakan bahasa Bali lewat acara ini.
Dewan
juri memutuskan SMP Wisata Sanur sebagai juara I, disusul SMP Negeri 1 Denpasar
sebagai juara II, dan Juara III diraih
SMP Negeri 3 Denpasar.
___________________________________________
Teks dan Foto: Made
Radheya
COMMENTS