![]() |
Pementasan operet "Halo Tuan" oleh anak-anak Sanggar Kukuruyuk di gedung kesenian Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu (16/2). |
Mengajarkan
anak-anak Bali belajar berbahasa Bali mesti dengan cara menyenangkan. Jika
anak-anak senang belajar berbahasa Bali, niscaya mereka akan lebih cepat bisa
berbahasa Bali. Belajar bahasa Bali tidak boleh membuat anak-anak merasa bosan,
apalagi takut.
Maestro
dongeng dan permainan tradisional, Made Taro terus berjuang menciptakan
cara-cara yang menyenangkan bagi anak-anak belajar bahasa Bali. Karena dunia
anak dekat dengan dongeng, lagu dan permainan tradisional, Made Taro memilih
cara itu. Dia melakukan itu secara konsisten bersama Sanggar Kukuruyuk yang
didirikan dan diasuhnya sejak 15 Juni 1979.
Minggu
(16/2), Made Taro menggabungkan aspek dongeng (satua), lagu dan permainan
tradisional (plalian) itu dalam sebuah pementasan operet berbahasa Bali yang
diberinya judul, “Halo Tuan”. Pementasan di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya
Provinsi Bali itu serangkaian peringatan “Bulan Bahasa Bali 2020”
Pria
kelahiran tahun 1939 itu tidak memungkiri anak-anak dan generasi milenial Bali
saat ini cenderung mengalami kesulitan untuk berbahasa Bali dibandingkan
berbahasa Indonesia ataupun berbahasa Inggris. "Mengajarkan bahasa Bali
melalui permainan dan gending-gending (lagu-lagu), jauh akan lebih diingat oleh
anak-anak," kata Made Taro.
Memang,
diakui Made Taro, anak-anak di sekolah diajarkan bahasa Bali. Tapi, sayangnya
bahasa Ibu ini tidak digunakan sehari-hari. “Selain itu media informasi yang
ada dan diterima anak-anak juga sebagian besar bahasa Indonesia,” katanya.
“Halo
Tuan” mengangkat sejumlah permainan tradisional dengan diiringi gending Bali,
seperti “Kedis-kedisan”, “Siap-siapan”, “Dadong Dauh”, “Ngalih Roang”, dan “Macan
Mebaju Kambing”. “Halo Tuan” mengisahkan seorang wisatawan mancanegara yang
sedang melancong ke Bali. Ia ingin melihat tajen
atau cock fighting. Tapi, pemandu
wisata menjelaskan bahwa di Bali tidak ada tajen,
yang ada adalah permainan tradisional (plalian)
“Siap-Siapan”. Wisatawan itu tertarik dan akhirnya bukan saja menyaksikan “Siap-siapan”,
tetapi juga plalian yang lain.
Made
Taro menambahkan, melalui garapan yang ditampilkan sekitar 45 menit itu,
pihaknya mengutamakan penghayatan anak-anak terhadap nilai-nilai moral seperti
kejujuran, disiplin, kebersamaan, percaya diri dan kemandirian, di samping juga
pentingnya menjaga kelestarian alam. Permainan Macan Mebaju Kambing misalnya, menceritakan
seekor macan (harimau) yang ingin mencari mangsa dengan berpura-pura mengenakan
baju kambing. “Oleh karena ekosistem hutan yang rusak, macan terpaksa turun
gunung seteleh melihat kambing yang sedang asyik bermain. Supaya dapat mangsa,
macan itu mengganti bajunya menjadi baju kambing dan ikut bermain serta
memangsa kambing,” ucapnya.
Kambing
lainnya akhirnya melapor kepada tuannya agar mencari harimau (macan) itu yang
telah berbuat keonaran. Barulah akhirnya disadari karena ulah manusia yang
merusak hutan yang menjadi habitat macan, sehingga macan sampai turun gunung..
Pentas
“Halo Tuan” melibatkan pemain 27 anak-anak dari SD 8 Dauh Puri, Denpasar, dan
tukang satua atau pendongeng Kadek
Natia (SD Saraswati 3 Denpasar). Pentas ini diiiringi 8 orang penabuh yang
membawakan alat musik cungklik, kendang, cengceng, suling dan tumbung.
Made Taro turut tampil memainkan alat musik cunglik.
Penjaga dongeng dan permainan tradisional itu terlihat begitu bahagia
bermain bersama anak-anak. Para penonton yang hadir juga turut bahagia
menyaksikan anak-anak Sanggar Kukuruyuk bermain riang bersama sang maestro
Pekak Taro. (b.)
______________________________
Teks dan Foto: I Nyoman
Dhirendra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar