Program pemuliaan bahasa, aksara, dan sastra Bali yang digencarkan Gubernur Bali, I Wayan Koster cukup membahagiakan I Made Suarsa. Pengar...
Program
pemuliaan bahasa, aksara, dan sastra Bali yang digencarkan Gubernur Bali, I
Wayan Koster cukup membahagiakan I Made Suarsa. Pengarang sastra Bali modern
ini menilai program Gubernur Koster itu tepat karena merawat akar kebudayaan
Bali. Menurut Suarsa, bahasa, aksara, dan sastra Bali merupakan mata air
kebudayaan Bali.
“Bahasa,
aksara, dan sastra Bali itulah yang membentuk wajah kebudayaan Bali yang kita
warisi hingga kini. Jadi, kunci pemertahanan kebudayaan Bali, ya, bahasa,
aksara, dan sastra Bali,” kata pensiunan dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud
ini.
Kesadaran mengenai bahasa, aksara, dan sastra Bali sebagai akar kebudayaan Bali itulah yang membuat Suarsa setia berkarya dalam bidang sastra Bali modern maupun sastra Bali purwa. Meskipun berlatar belakang pendidikan sastra Indonesia, Suarsa lebih banyak berkarya dalam bidang sastra Bali modern dan sastra Bali purwa.
Kesadaran mengenai bahasa, aksara, dan sastra Bali sebagai akar kebudayaan Bali itulah yang membuat Suarsa setia berkarya dalam bidang sastra Bali modern maupun sastra Bali purwa. Meskipun berlatar belakang pendidikan sastra Indonesia, Suarsa lebih banyak berkarya dalam bidang sastra Bali modern dan sastra Bali purwa.
“Bapak
saya (Made Sanggra) dulu selalu berpesan agar selalu sutindih terhadap bahasa,
aksara, dan sastra Bali. Hal itu juga yang memotivasi saya terus menulis sastra
Bali modern dan sastra Bali purwa,”
kata Suarsa.
Bahasa,
aksara, dan sastra Bali, kata Suarsa, seperti memberinya kekuatan untuk terus
kreatif. Di bawah lindungan bahasa, aksara, dan sastra Bali, Suarsa merasakan
hidup menjadi lebih hidup.
Betapa
tidak, pria kelahiran 15 Mei 1954 ini kini sudah menghasilkan sedikitnya 33
karya sastra, baik berupa buku sastra Bali purwa, sastra Bali modern, esai dan
sejarah. Beberapa karya terakhirnya, Car
Free Daay lan Car Everyday (kumpulan puisi Bali anyar/modern), Kakawin Aji Palayon, Pupulan Palawakya, dan Buah di Tangkah Padidi (kumpulen cerpen
Bali anyar/modern). Bahkan kini, Suarsa juga sedang menyelesaikan buku baru.
Karena
itu, wajar saja jika Suarsa dua kali diganjar hadiah sastra Rancage, yakni
tahun 2005 untuk kumpulan puisi Bali modern, Ang Ah lan Ah Ang serta tahun 2007 untuk buku kumpulan cerpen Bali
modern, Gede Ombak Gede Angin.
Keistimewaan karya-karya Suarsa terletak pada kemampuannya memasukkan
unsur-unsur modernisme dalam sastra Bali modern maupun sastra Bali purwa.
Sepintas terkesan seperti bermain-main, tetapi sarat dengan makna.
Suarsa
dikenal sebagai sastrawan yang menjadi pelopor dalam kreativitas. Ia
mengoptimalkan dasanama dalam mengungkapkan kosakata bahasa Bali dengan
memperhatikan bunyi akhir sebuah kata. Hal ini kini kerap dijadikan acuan
banyak penulis muda sastra Bali modern.
Pengabdian
Suarsa yang tak kenal henti di bidang sastra Bali modern itu kemudian
membuatnya dianugerahi penghargaan seni paling bergengsi di Bali, yakni Dharma
Kusuma. Penghargaan ini diserahkan langsung Gubernur Bali, I Wayan Koster saat
peringatan hari jadi ke-61 Pemerintah Provinsi Bali, 14 Agustus 2019. Selain
piagam, Suarsa menerima medali emas dan uang senilai Rp 11 juta.
Suarsa
tentu bersyukur atas penghargaan yang diberikan Gubernur Bali itu. Bagi Suarsa,
penghargaan itu merupakan wujud perhatian yang tiada putus dari Pemprov Bali
terhadap upaya merawat dan mengembangkan sastra Bali modern.
Suarsa
berharap perhatian Pemprov Bali terhadap sastra Bali modern maupun sastra Bali
purwa bisa terus ditingkatkan. Selain memberikan penghargaan, perlu juga
gerakan yang terstruktur dan sistematis untuk menggairahkan produksi buku-buku
sastra Bali modern maupun sastra Bali purwa dengan cara membeli buku-buku karya
sastrawan Bali.
“Banyak
sastrawan Bali yang berjuang sendiri menerbitkan bukunya. Mungkin pemerintah
bisa membantu dengan membeli buku-buku itu lalu menyebarluaskannya ke
perpustakaan-perpustakaan sekolah,” usul Suarsa.
Jika buku-buku karya pengarang Bali itu dibeli, tentu pengarang bisa lebih sejahtera karena menikmati hasil penjualan buku-buku karyanya. "Selama ini pengarang sastra Bali modern mencetak bukunya dengan biaya sendiri, dengan oplah terbatas karena menggunakan dana pribadi yang terbatas," kata Suarsa.
________________________
Teks:
Ketut Jagra
Foto:
Istimewa
COMMENTS