Sastrawan yang juga pekerja teater, AA Sagung Mas Ruscitadewi, meraih gelar doktor di Program Studi Ilmu Agama, Program Pascasarjana, Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar dengan disertasi berjudul “Nadi Pada Seniman Teater Genta Malini SMAN 1 Gianyar dalam Gelar Seni Akhir Pekan Bali Mandara Nawanatya 2016 di Taman Budaya Denpasar (Kajian Filsafat Samkhya Yoga)”.
Sastrawan
yang juga pekerja teater, AA Sagung Mas Ruscitadewi, meraih gelar doktor di
Program Studi Ilmu Agama, Program Pascasarjana, Institut Hindu Dharma Negeri
(IHDN) Denpasar. Gelar itu diraih Mas Ruscitadewi setelah berhasil
mempertahankan disertasinya yang berjudul “Nadi
Pada Seniman Teater Genta Malini SMAN 1 Gianyar dalam Gelar Seni Akhir Pekan
Bali Mandara Nawanatya 2016 di Taman Budaya Denpasar (Kajian Filsafat Samkhya
Yoga)” dalam sidang ujian promosi di IHDN Denpasar, Jumat (17/1).
![]() |
AA Sagung Mas Ruscitadewi |
Menurut
Mas Ruscitadewi, selama ini dalam pementasan teater, seorang pekerja seringkali
sukses memerankan satu tokoh. Padahal, seorang aktor yang bagus mesti mampu
memerankan berbagai tokoh. Artinya, sang seniman teater itulah yang ‘menjadi’
tokoh yang diperankan, bukan sebaliknya tokoh yang diperankan itu yang ‘menjadi’
dalam diri si seniman teater. “Untuk bisa melakukan itu, seorang seniman teater
penting memahami konsep nadi,” kata
perempuan kelahiran Denpasar, 26 Mei 1965 ini.
Masyarakat
Bali, kata Mas Ruscitadewi, mengenal konsep nadi
yang bermakna ‘menjadi’ untuk menyebut suatu keberhasilan, baik yang diciptakan
oleh manusia, yang bukan oleh manusia (oleh alam atau Tuhan) maupun gabungan
dari yang diciptakan dan tidak diciptakan oleh manusia. Konsep nadi erat kaitannya dengan kreativitas
penciptaan sehingga perlu dipahami para seniman, terutama seniman teater.
Teater juga Yoga
Teater juga Yoga
Teater,
kata mas Ruscitadewi, bukanlah bermain-main. Seorang pemain teater tidaklah
berpura-pura menjadi tokoh yang diperankan, melainkan berusaha menjadi tokoh
yang diperankan secara sungguh-sungguh. Karena itu, menurut pengajar teater di
sejumlah lembaga pendidikan ini, teater juga merupakan kegiatan yoga, aktivitas
pemujaan terhadap Tuhan.
Nadi, jelas Mas
Ruscitadewi, merupakan sebuah proses penciptaan yang dilandasai oleh suatu
kesadaran, bukan ketidakadaran. Karena itu, menurutnya, nadi berbeda dengan kerauhan. Nadi agak mirip dengan taksu.
Tapi, nadi adalah proses untuk
mencapai taksu, sedangkan taksu merupakan puncak pencapaian dalam
kreativitas. “Namun, ada juga sedikit perbedaan. Taksu bisa jadi dimiliki karena menggunakan sarana tertentu,
semisal sesabukan atau gegemet. Tapi, nadi sepenuhnya berasal dari proses di dalam diri sang seniman,”
jelas pengasuh tabloid anak-anak Lintang
ini.
Dalam
penelitiannya Mas Ruscitadewi menemukan tiga jenis nadi. Pertama, nadi sattva
yakni nadi untuk memunculkan perasaan gembira, tenang, bijak dan lain-lain. Nadi jenis ini dlakukan dengan membuka
hulu hati. Makin lebar bukaan hulu hati, makin kuat ekspresi kegembiraan yang
dimunculkan. Kedua, nasi rajas yakni
nadi untuk memunculkan rasa sombong, marah, angkuh dan karakter sejenis. Nadi jenis ini dilakukan dengan menaik
ke aras nafas yang ada di hulu hati. Makin naik nafas, makin kuat ekspresi
marah, sombong atau angkuh yang muncul. Ketiga, nadi tamas yakni nadi untuk memunculkan rasa sedih, cengeng, takut
dan karakter sejenis. Nadi jenis ini
dilakukan dengan menarik ke bawah nafas yang ada di hulu hati. Makin ke bawah
nafas ditarik, makin kuat rasa sedih yang muncul.
Tiga Jenis 'Nadi'
Tiga Jenis 'Nadi'
Selain
ketiga jenis nadi tadi, ada tiga lagi jenis nadi
yang berkaitan dengan unsur yang dilibatkan. Ketiga nadi itu yakni nadi unsur wirasa, wiraga, dan wirama. Nadi unsur wirasa dicapai
melalui pengolahan rasa yang melibatkan fisik dan suara. Nadi unsur ini harus melibatkan unsur wiraga (fisik/tubuh) dan nadi unsur wirama (suara).
“Nadi sattva yang diterapkan Teater Genta
Malini dalam pementasan naskah berjudul “Paradoks” karya Putu Wijaya membuat
para pemainnya dengan mudah mengubah karakter, menjadi gembira, marah, sedih,
genit, angkuh, sombong, dan lain-lain dengan unsur wirasa, wirama, dan wiraga,” tandas kurator Gelar Seni Akhir
Pekan Bali Mandara Nawanatya tahun 2016—2018 dan Festival Seni Bali Jani tahun
2019.
Lebih
jauh Mas Ruscitadewi menjelaskan konsep nadi
dalam filsafat Samkhya Yoga dikenal sebagai transformasi energi atau
penciptaan dan peleburan. Transformasi energi atau penciptaan dan peleburan
terjadi pada saat non materi (purusha)
berinteraksi dengan materi (prakrti)
yang membentuk badan halus yang disebut suksma
sarira/lingga sarira yang terdiri
dari mahat atau budhi, ahamkara yang
mengandung sepuluh alat indera: panca
jnana indera dan panca karma indera
serta pikiran (manas). Transformasi
energi atau penciptan dan peleburan pada materi atau energi yang sudah ada
dilakukan dengan cara melakukan yoga sebagai upaya penyatuan atman induvidu dengan atman tertinggi.
Yoga
yang terbaik, imbuh Mas Ruscitadewi, yakni yoga maya atau daivi prakrti yang pencapaian akhirnya berupa kebijaksanaan,
kesehatan dan kekuatan atau kesaktian. Kualitas hasil yang dicapai akan
berbeda-beda sesuai dengan kecenderungan cara yoga maya yang dilakukan. “Yoga
maya juga bisa dilakukan dalam penciptaan karya seni untuk membuat karya seni
yang nadi atau ‘menjadi’,” kata Mas
Ruscitadewi.
Karena
itu, menurut Mas Ruscitadewi, konsep nadi
perlu dipahami oleh para seniman, khususnya seniman teater dan masyarakat pada
umumnya, sehingga bisa melakukan proses nadi
dalam berkesenian dan dalam kehidupan sehari-hari. “Hakikat nadi perlu dipahami dan diresapi oleh
seniman, seniman teater khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga bisa
menjadi penuntun untuk meraih kehidupan yang lebih bahagia,” tandas Mas
Ruscitadewi. (b.)
____________________________
Teks dan Foto: Sujaya
COMMENTS