Setiap
kota selalu memiliki satu tempat atau kawasan yang menjadi ikon. Jakarta
memiliki kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) atau Monumen Nasional (Monas), Yogyakarta
memiliki Jalan Malioboro, sedangkan Semarang memiliki kawasan Simpang Lima.
![]() |
Salah satu sudut Jalan Gajah Mada, Denpasar, akhir tahun 2019. |
Kota
Denpasar juga memiliki kawasan yang menjadi ikon, yakni Jalan Gajah Mada. Orang
belum merasa mengunjungi Kota Denpasar jika belum datang ke Jalan Gajah Mada. Jalan
Gajah Mada merupakan pusat keramaian dan pusat perekonomian Kota Denpasar. Di
kawasan ini berdiri pasar tradisional paling sibuk di Bali, yakni Pasar Badung
dan Pasar Kumbasari. Dulu, Pasar Kumbasari juga dikenal dengan sebutan Peken
Payuk. Kedua pasar itu dipisahkan oleh sebuah sungai, yakni Tukad Badung.
Daya
tarik Jalan Gajah Mada tentu saja toko-toko dengan bangunan tua bernilai
sejarah tinggi yang menyebabkan kawasan ini menjelma menjadi semacam kota tua.
Itu sebabnya, Pemerintah Kota Denpasar menetapkan kawasan Jalan Gajah Mada
sebagai kawasan heritage atau warisan
budaya sejak tahun 2008. Tahun 2019, Pemkot Denpasar melalui Dinas Pariwisata Daerah
(Disparda) Kota Denpasar melakukan co-branding
Jalan Gajah Mada sebagai destinasi wisata kota tua Denpasar. Lantas, bagaimana
citra Jalan Gajah Mada yang selama ini sudah terbentuk?
Gambaran
Jalan Gajah Mada sebagai pusat Kota Denpasar juga terekam dalam karya sastra,
baik sastra Indonesia maupun sastra Bali modern. Karya sastra itu, baik berupa puisi,
cerpen, maupun novel, tidak hanya menjadikan kawasan Jalan Gajah Mada sebagai
latar, tetapi juga tema utama. Karya-karya sastra itu sejatinya juga sebuah
monumen, “monumen kata-kata” yang memperkuat citra monumen fisik kawasan Jalan
Gajah Mada, Denpasar.
Ada
beberapa sajak yang menjadikan Jalan Gajah Mada sebagai judul, yakni sajak
“Jalan Gajah Mada” karya Made Sukada, sajak “Jalan Gajah Mada” karya Ni Made
Purnamasari serta sajak berbahasa Bali, “Nasi Jenggo Jalan Gajah Mada” karya
Ketut Aryawan Kenceng. Sejumlah puisi lain melukiskan suasana Pasar Badung,
Pasar Kumbasari, Tukad Badung maupun patung Catur Muka yang dikenal sebagai
penyangga kawasan Jalan Gajah Mada. Dalam genre cerpen dan novel, karya-karya I
Wayan Suardika tampaknya paling kuat menggambarkan denyut hidup dan dinamika
kawasan Jalan Gajah Mada. Pengarang kelahiran Denpasar ini menulis sebuah
cerpen berjudul “A Ling” dan sebuah novel berjudul Ni Meri yang memotret kehidupan di kawasan Jalan Gajah Mada. Berbagai
karya sastra itu dapat dibaca sebagai resepsi (tanggapan) pengarang terhadap
kawasan Jalan Gajah Mada sebagai pusat aktivitas Kota Denpasar.
Bioskop dan Nasi Jinggo
Teks-teks
sastra, baik sastra Indonesia maupun Bali modern, yang memotret kawasan Jalan
Gajah Mada merupakan resepsi pengarang terhadap dinamika yang dialami kawasan
jalan tersebut sebagai ikon Kota Denpasar. Teks-teks sastra itu
merepresentasikan citra kawasan Jalan Gajah Mada sebagai pusat kota Denpasar
yang memikat, baik untuk sekadar berkunjung menyusuri lekuk-lekuk ruangnya,
tetapi juga menyelami liku-liku kehidupannya yang khas.
![]() |
Sudut lain di Jalan Gajah Mada, Denpasar, akhir tahun 2019. |
Melalui
karya-karya sastra itu, baik berupa puisi, cerpen, maupun novel, setidaknya
didapat tiga citra utama kawasan Jalan Gajah Mada. Pertama, citra sebagai pusat
kota yang tidak pernah berhenti berdenyut, selalu hidup sepanjang hari.
Sebagian dari teks-teks sastra itu menghadirkan kembali kenangan tentang Jalan
Gajah Mada di era tahun 1970-an sebagai tempat pelesiran dengan daya tarik
utama berupa bioskop dan pusat kuliner, khususnya nasi jinggo.
Potret
Jalan Gajah Mada sebagai pusat kota yang tak pernah mati, terekam dalam puisi
Indonesia maupun Bali modern. Penyair yang juga kritikus sastra, Made Sukada,
menulis sajak berjudul “Jalan Gajah Mada” pada tahun 1973. Dalam sajak pendek
ini, Jalan Gajah Mada dilukiskan sebagai ruas jalan yang tak pernah berhenti
berdenyut. Dalam rekaman Sukada Jalan Gajah Mada “melintang barat imur/memanjang trotoir/tak mengenal tidur// warna
kehidupan/berlomba dalam debu dan waktu”
Penyair
I Ketut Aryawan Kenceng menulis puisi berjudul “Nasi Jenggo Jalan Gajah Mada”
yang menghadirkan citra Jalan Gajah Mada sebagai kawasan wisata kuliner dengan
menu khas nasi jenggo atau nasi jinggo. Nasi jinggo memang dikenal sebagai
kuliner khas Kota Denpasar dan Jalan Gajah Mada merupakan kawasan yang identik
dengan nasi jenggo. Di tempat inilah, nasi jenggo dikenalkan pertama sejak
tahun 1970-an silam. “Ngawit warsa pitung
dasa riin/Kantos mangkin/Kantun ngenyudin/Kantun ngedotin// Ajengan
sadarana/Wantah samatra/Nasi jingo jalan gajah mada/Tan tuna rasa tan tuna
arsa//Cerik kelih ngebekin margi/Kalih ungkus tigang tali/Keled makébék lais
lantih/Mén simpeg kenyung mapikolih”
Perempuan-perempuan Perkasa
![]() |
Tukang suun Pasar Kumbasari |
Kedua,
citra perjuangan perempuan-perempuan perkasa Bali yang direpresentasikan oleh
para pedagang dan tukang suun di Pasar
Badung dan Pasar Kumbasari. Tokoh Ni Meri dalam novel Ni Meri memperkuat Jalan Gajah Mada sebagai representasi pusat yang
memikat. Ni Meri merupakan warga desa yang ingin mengubah nasibnya. Bekerja di
kawasan Jalah Gajah Mada diyakini Ni Meri bisa memberinya harapan masa depan
yang lebih baik daripada di kampungnya.
Potret
perempuan-perempuan perkasa Bali di Pasar Kumbasari dilukiskan dengan baik oleh
penyair Acep Zamzam Noor dalam sajak berjudul “Pasar Kumbasari, Denpasar”. “Pasar adalah gemuruh/Sekaligus semadi
suara-suara/Kulihat yang berjualan itu mulai menari/Kuli-kuli itu mulai
menyanyi/Semuanya perempuan-/Dingin menyerap keringat mereka/Menjadi
berbotol-botol arak//Di sini setiap perempuan adalah lelaki/Bekerja adalah
sembahyang dan menari/Bersama mereka kupanggul keranjang-keranjang itu/Sambil
menyuling keringatku sendiri /Menjadi tenaga kata-kata”.
Multietnik dan Multikultur
Ketiga,
Jalan Gajah Mada mencitrakan wajah urban Kota Denpasar yang multietnik yang
tetap terjaga keharmonisannya. Kawasan
Jalah Gajah Mada dikenal sebagai Kampung Cina karena di sini berderet toko-toko
milik orang Tionghoa. Berdampingan dengan kawasan Jalan Gajah Mada, ada Jalan
Sulawesi yang dikenal sebagai Kampung Arab karena di situ berjejer toko-toko
milik orang Arab. Masih ada kawasan Jalan Ahmad Yani Selatan hingga Jalan
Kartini yang dikenal sebagai Kampung Jawa karena dihuni warga Muslim dari etnik
Jawa.
![]() |
Tukad Badung yang membelah Jalan Gajah Mada. |
Gambaran
wajah multikultur Jalan Gajah Mada dikisahkan I Wayan Suardika dalam cerpen “A
Ling”. Cerpen ini mengisahkan persahabatan seorang pemuda Bali, Suwar, dengan
gadis Cina, A Ling. Melalui cerpen ini, pembaca mendapat gambaran tentang
interaksi antaretnik yang terjalin di antara tiga kampung berlatar belakang
etnik di kawasan Jalan Gajah Mada, yakni Kampung Bali, Kampung Jawa, Kampung
Cina, dan Kampung Arab.
Refleksi
Namun,
karya-karya sastra itu tidak saja sekadar menampilkan potret, tetapi juga
refleksi atas pertumbuhan yang dialami kawasan Jalan Gajah Mada di masa kini. Jalan
yang makin lebar dan pohon-pohon perindang yang ditanam di pinggiran jalan seperti
menjadi simbol jarak yang makin lebar antara kota dan warganya serta
harapan-harapan melambung yang membuat warga kotanya makin berjarak dengan
kenyataan. Sajak Ni Made Purnamasari yang berjudul “Jalan Gajah Mada” merefleksikan
paradoks dalam perkembangan sebuah kota bagi warganya, tak terkecuali Jalan
Gajah Mada Denpasar. “Jalan ini makin
lebar/makin berjarak dengan kenyataan/Bukankah semua kota selalu punya
jalan-jalan besar/dan semua orang kini tak lagi tinggal rumah// Kita akan
melambung, bersarang/di pohon perindang/ serupa hutan serupa rumah// Katakan
saja jalan ini/adalah kasih sayang yang abai di bulan tinggi/ atau letih
menunggu setelah hujan/ yang tak menghampakan siapa-siapa/maka mungkin kita
akan tahu:/ hari kini telah kehilangan esok yang tiada” (Darma Putra, dkk.,
2012: 79—80).
![]() |
Patung Empat Muka (Catur Muka) yang menjadi ujung timur Jalan Gajah Mada. |
Purnamasari
tampaknya mengingatkan tentang hakikat kota yang tidak hanya menyediakan kenyamanan
ruang fisik, tetapi juga kenyamanan ruang batin bagi warganya untuk berdialog
memahami hakikat kenyataan hidup. Sederhananya, kota mesti dibangun makin ramah
dengan warganya. (b.)
____________________________
Tek:
I Made Sujaya
Foto:
I Made Sujaya
* Versi lebih panjang dari tulisan ini dimuat dalam buku Gajah Mada Street: The Pulse of Denpasar yang diterbitkan Dinas Pariwisata Kota Denpasar tahun 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar