Kain gringsing, salah satu ciri khas Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem. Bagi masyarakat Tenganan Pagringsingan, kain gringsing memiliki makna khusus.
Oleh: I MADE SUJAYA
Salah satu
ciri khas Desa Tenganan Pagringsingan tentu saja kain tenun ikat yang disebut kain gringsing.
Karena itu pula, nama desa ini lebih dikenal dengan Desa Tenganan
Pegringsingan. Ini untuk membedakannya dengan Desa Tenganan Dauh Tukad atau pun Tenganan sebagai desa dinas.
Anak-anak perempuan Tenganan Pagringsingan dalam suatu upacara adat di desa itu. |
Tidak
diketahui secara pasti kapan kain gringsing mulai muncul di Tenganan. Tiada
diketahui pula siapa yang pertama kali memperkenalkan kerajinan menenun kain
ini pertama kalinya di Tenganan.
Menurut
tradisi lisan masyarakat Tenganan, kain gringsing mengandung makna sebagai
semacam penolak bala. Ini jika dlihat dari kata gringsing yang konon berasal dari kata gering yang artinya ‘wabah’ dan sing
yang artinya ‘tidak’. Dengan begitu gringsing
berarti ‘terhindar dari wabah’.
Namun, diduga pada masa Bali Kuna dulu kain gringsing diproduksi juga di
daerah-daerah lainnya. Hanya saja, hingga saat ini hanya di Tenganan kerajinan
tenun kain ini masih terjaga.
Kain
gringsing ini sendiri terbilang unik, otentik dan kini amat langka. Benang yang
dipakai untuk menenun kain ini berasal dari kapas Bali
asli. Selain bahannya yang langka, proses pembuatan kain ini juga terbilang
amat rumit. Bisa dibutuhkan waktu sampai sepuluh tahun untuk bisa menghasilkan
selembar kain gringsing berkualitas bagus.
Mula
pertama, kapas Bali dipintal menjadi benang. Kemudian, benang itu dibalutkan
lalu dicelup untuk mendapatkan warna-warna tertentu. Pewarnaannya sendiri
menggunakan warna alam. Warna kuning sebagai warna dasar dibuat dari minyak
kemiri. Setelah itu, benang kembali dililitkan untuk dibuat warna biru dari taum (indigo). Setelah biru, benang itu
direndam ke pewarna merah yang terbuat dari akar sunti –hanya bisa tumbuh bagus
di Nusa Penida— dan kihip selama tiga
hari. Selanjutnya, dicuci dan dijemur minimal tiga bulan. Proses ini kembali
diulang-ulang hingga tercapai warna yang sebagus-bagusnya dengan warna terakhir
yakni hitam. Proses pewarnaan inilah yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Ada
sejumlah motif kain gringsing yakni lubeng,
wayang putri, wayang kebo, cecempakan, cemplong, dingding sigading, dingding
ai, pepare, pat likur, petang dasa, semplang, cawet, anteng dan
lainnya. Motif-motif itu sendiri penuh dengan simbol-simbol seperti tapak dara dan lainnya.
Karena
proses pembuatannya yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama, harga selembar
kain gringsing pun sangat mahal. Sebuah
kain gringsing yang sudah robek-robek saja harganya bisa mencapai Rp
25.000.000. Kalau yang utuh, tentu lebih mahal.
Kain
gringsing kerap digunakan sebagai pakaian adat saat upacara berlangsung. Saat
Usaba Sambah yang jatuh tiap bulan kelima menurut penanggalan Tenganan
–biasanya jatuh pada bulan Juni-Juli—para daha
teruna wajib mengenakan kain gringsing. Kain gringsing inilah yang membuat
para generasi muda Tenganan itu tampak bersahaja saat menari Rejang Abuang. (b.)
_______________________
Penyunting: KETUT JAGRA
COMMENTS