Demam budidaya porang atau ile-iles atau kula-kula kini melanda petani Desa Belatungan, Kecamatan Pupuan, Tabanan.
Sudah
sejak beberapa bulan ini, I Nyoman Sleyog (80), petani tua di Desa Belatungan,
Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan rajin mendatangi kebun garapannya yang
berjarak beberapa ratus meter dari rumahnya. Kebun milik tetangganya yang
awalnya tak terurus itu ditanami sejumlah tanaman, seperti pisang dan tanaman
produktif lain. Namun, ada satu jenis tanaman yang diperhatikan khusus olehnya,
yakni porang atau iles-iles. Tanaman yang sepintas mirip suweg ini oleh warga
setempat lebih dikenal dengan nama kula-kula.
Teks: Ketut Jagra
______________________
Foto: Ketut Jagra
"Umbi
kula-kula bisa dijual dengan harga yang tinggi. Tanaman ini sudah diekspor ke
Jepang. Sayang sekali, saya baru tahu tanaman ini bisa jadi uang. Padahal
selama ini banyak tumbuh di tengah hutan tetapi tak diperhatikan," kata
Sleyog yang juga kerap dipanggil Pekak Menyol, Sabtu (5/1).
![]() |
Porang atau iles-iles atau kula-kula |
Demam
budidaya porang memang tengah melanda para petani Belatungan sejak setahun
terakhir. Nilai ekonomis yang tinggi serta cara budidaya yang mudah menjadi
daya tarik bagi para petani Belatungan.
“Per
kg biasanya dibeli Rp 5.000. Satu umbi porang beratnya bisa mencapai 5-7 kg,” imbuh Sleyog.
Porang
merupakan tanaman jenis umbi-umbian dari spesies Amorphophallus oncophyllus. Menurut situs resmi Kementerian
Pertanian Republik Indonesia, tanaman porang gampang dibudidayakan karena
toleran naungan mencapai 60%. Tanaman ini bisa tumbuh pada jenis tanah apa saja
di ketinggian 0 sampai 700 mdpl. Porang memiliki sifat sebagai tanaman sela dan
biasanya tumbuh liar di lahan hutan di bawah naungan tegakan tanaman lain.
Untuk pengembangbiakan biasanya digunakan potongan umbi batang maupun umbinya
sendiri yang telah memiliki titik tumbuh atau umbi katak (bubil).Untuk bisa dipanen umbinya, tanaman porang butuh waktu antara 12 hingga 24 bulan.
Kandungan
utama umbi porang yakni glukomanan yang berbentuk tepung. Glukomanan merupakan
serat alami yang dapat larut dalam air biasa serta biasa digunakan sebagai
aditif makanan, sebagai emulsifier dan pengental, bahkan dapat digunakan
sebagai bahan pembuatan lem ramah lingkungan dan pembuatan komponen pesawat
terbang. Namun, porang biasanya banyak digunakan sebagai bahan baku tepung,
komestik, penjernih air, pembuatan lem dan “jelly”.
Selama
ini, porang diekspor ke berbagai negara. Menurut catatan Badan Karantina
Pertanian, pada tahun 2018 tercatat ekspor porang mencapai 254 ton. Nilai
ekspornya mencapai Rp 11,31 miliar. Negara-negara tujuan ekspor porang
Indonesia, antara lain Jepang, Tiongkok, Vietnam, Australia dan sejumlah negara
lain. Di pasaran, porang segar dijual dengan harga Rp 4.000 per kg, sedangkan jika
sudah diolah menjadi chip porang siap ekspor harganya bisa mencapai Rp 14.000
per kg.
Meski bernilai ekonomis tinggi, porang belum banyak dibudidayakan. Hingga kini, baru ada beberapa daerah yang menjadi sentra pengolahan porang, yakni Pasuruan, Madiun, Wonogiri, Bandung, dan Maros. Di Bali, porang sudah dikembangkan sejak beberapa tahun terakhir di Desa Dukuh Penaban, Karangasem.
Meski bernilai ekonomis tinggi, porang belum banyak dibudidayakan. Hingga kini, baru ada beberapa daerah yang menjadi sentra pengolahan porang, yakni Pasuruan, Madiun, Wonogiri, Bandung, dan Maros. Di Bali, porang sudah dikembangkan sejak beberapa tahun terakhir di Desa Dukuh Penaban, Karangasem.
Potensi
ekonomi yang menggiurkan itu membuat petani di wilayah Buleleng juga tertarik
membudidayakan porang. Ni Ketut Taman (63), seorang petani dari Desa Tista,
Buleleng meminta sejumlah bibit porang kepada kerabatnya di Belatungan.
“Dulu
ada orang Jawa yang datang ke Tista mencari kula-kula. Tapi, tak ada yang tahu
tanaman itu. Ternyata, setelah ditunjukkan contohnya, kula-kula itu mirip suweg.
Banyak tumbuh di hutan. Selama ini tak ada yang memperhatikan tanaman ini,”
tutur Taman.
Di
Tista, imbuh Taman, belum banyak yang membudidayakan porang. “Saya mau mencoba
dulu. Mudah-mudahan berhasil,” ujarnya. (b.)
Foto: Ketut Jagra
COMMENTS