Sebutan
nyama Selam yang ditujukan masyarakat
Bali kepada warga muslim merupakan cerminan keterbukaan atau inklusivitas Bali
dalam menerima komunitas lain agama. Di sisi lain, sebutan itu memunculkan rasa
bangga warga Muslim yang sejak lama tinggal di Bali karena merasa dianggap
sebagai bagian masyarakat Bali. Sikap terbuka orang Bali itu menjadi kunci
terjaganya kerukunan antara warga Bali (Hindu) dengan warga Muslim di Pulau
Dewata ini sejak berabad-abad silam.
![]() |
Tokoh muslim bersama pecalang Desa Adat Kuta bekerja sama mengamankan pelaksanaan catur brata penyepian, 22 Maret 2004. (Courtesy: Linggar Saputra) |
Ketut
Syahruwardi Abbas, penulis muslim Bali kelahiran Desa Pegayaman, Buleleng, saat
menjadi narasumber dalam diskusi “Bali Tempo Doeloe #22” bertajuk “Nyama Selam:
Sisi Harmoni Bali” di Bentara Budaya Bali, Minggu (5/5) mengungkapkan sejak semula,
kedatangan umat Islam di Bali, seperti halnya kedatangan orang Jawa yang
beragama Syiwa—sama sekali tidak mendatangkan konflik. Tak ada sejarah yang
mengungkapkan konflik fisik yang melibatkan orang Islam dengan penduduk lokal. “Kalau
pun mereka terlibat dalam pertempuran, mereka berada dalam barisan prajurit
kerajaan tempat mereka tinggal. Karena itulah, hingga kini masyarakat Muslim
Kepaon masih tetap memiliki tempat khusus di Puri Pemecutan yang sejajar dengan
para keturunan prajurit kerajaan lainnya,” kata Abbas.
Karena
tidak pernah memiliki kepentingan penguasaan daerah, umat Islam yang dating
pada masa kerajaan itu sama sekali tidak pernah terlibat dalam pemberontakan
maupun perlawanan terhadap raja. Uniknya, sebagian besar pendatang masa kerajaan
itu larut dalam kehidupan masyarakat sekitarnya secara sangat intens, sehingga
mereka menerima kebudayaan Bali sebagai bagian dari kehidupan mereka. Yang
lebih menarik lagi, memiliki kecerdasan luar biasa untuk memilah mana
kebudayaan dan mana agama. “Sangat mungkin, hal itulah yang menyebabkan tidak
adanya sentimen-sentimen keagamaan yang berarti antara umat Islam dan umat
Hindu di Bali sejak dulu hingga kini,” duga penyair yang tahun lalu meluncurkan
buku kumpulan puisi Antara Kita.
Yang
patut dicatat, imbuh Abbas, kecuali misi ke Gelgel yang gagal, tidak ada satu
pun fakta sejarah yang menyatakan bahwa kedatangan umat Islam ke Bali untuk
tujuan penyebaran agama. Kalaupun terjadi perpindahan agama masyarakat Bali ke
Islam, sebagian besar diakibatkan oleh perkawinan. “Kasus lain, dialami oleh
kakek, nenek, dan ayah saya. Bertiga mereka masuk Islam karena lari dari
kejaran Belanda dan berlindung di Desa Pegayaman yang dihuni umat Muslim.
Tinggal beberapa lama di sana, mereka pun masuk Islam. Kasus seperti ini sangat
sedikit dan sama sekali tidak menggambarkan adanya penyebaran agama,” beber
Abbas yang leluhurnya berasal dari Desa Sudaji, Buleleng sebelum hijrah ke
Pegayaman.
Sebagian
besar masyarakat Muslim yang datang pada masa kerajaan itu benar-benar telah
menjadi “orang Bali”, sebab mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal selain di
kampung mereka di Bali. Mereka menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar
sehari-hari, kecuali di Kampung Loloan (Jembrana) yang masih menggunakan bahasa
Melayu. Mereka menyebut diri sebagai Nak
Selam, sedangkan masyarakat Bali di sekitarnya menyebut mereka nyama Selam.
“Umat
Islam Bali nyaman dan bangga dengan sebutan itu. Di Kampung Kajanan, Singaraja,
malah ada ungkapan yang sangat menggelikan, yakni Selam Jawa sebagai sebutan pendatang baru yang tidak taat
melaksanakan ajaran Islam, sedangkan mereka yang Muslim Bali dan taat
menjalankan ajaran Islam dengan bangga menyebut diri sebagai Selam Bali,” ungkap Abbas.
Menurut
Abbas, persaudaraan, kebersamaan dalam perbedaan itulah yang telah dibangun
antara kaum Muslim dan umat Hindu di Bali sejak mereka pertama kali. Kalaupun
belakangan banyak muncul ganjalan dan gangguan akibat gelombang pendatang ke
Bali yang sebagian besar beragama Islam di masa booming pariwisata, dinilai
Abbas, tetap saja hal itu bukan disebabkan oleh motif-motif agama. Sangat
disayangkan kalau kejahatan, kerusakan, dan sikap-sikap tidak terpuji,
dikait-kaitkan dengan agama. Ketika persoalan-persoalan sosial seperti itu
ditarik ke wilayah agama, emosi pun berdetak keras. Sangat mungkin ia akan
memicu konflik-konflik tak perlu yang sangat tak produktif.
Abbas
berpendapat aspek agama antara umat Hindu dan warga Muslim di Bali tidak
mungkin disatukan karena memang berbeda. Namun, di antara kedua penganut agama
itu, ada ruang besar yang bisa mempertemukan, yakni kebudayaan.
“Ruang-ruang
kebudayaan inilah yang harus terus dihidupkan untuk menjaga kerukunan di antara
kedua penganut agama yang sudah dibangun dan dipertahankan sejak lama,” tandas
Abbas.
Dosen
Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Ketut Sumadi yang juga turut
menjadi pembicara bersama Abbas, mengungkapkan masyarakat Bali memiliki konsep
nyama braya dalam membangun harmoni sosial. Sebutan nyama Selam lahir dari konsep nyama
braya yang menganggap umat Islam sebagai saudara.
“Sebagai
nyama, sebagai saudara, kita akan
selalu duduk bersama, selalu berbagi untuk mencari solusi atas masalah yang
terjadi,” tandas Sumadi. (b.)
Teks dan Foto: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar