Dari Ajang Pentas 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah Jumat (31/8) malam, “Pentas 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah” yang digagas Komunitas Mahima S...
Dari Ajang Pentas 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah
Jumat
(31/8) malam, “Pentas 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah” yang digagas Komunitas
Mahima Singaraja kembali mengadakan pementasan ketiga. Pentas ketiga ini
menampilkan seorang ibu bernama Hermawati yang membawakan lakon berjudul
“Kawitanku Langit Luas Tak Terbatas”. Sedikit berbeda dengan pementasan
sebelumnya, pentas ketiga ini digelar di sebuah panggung pemakanan keluarga
China.
Pemakaman itu milik keluarga keturunan
Liem Liang An yang menjadi salah satu kapitan China pertama yang hidup di
Buleleng. Pemakaman ini menjadi bagian dari rumah utama.
“Kawitanku adalah Langit Luas Tak Terbatas” berbicara tentang kegelisahan
mencari dan menemukan rumah menjadi isu sentral pementasan ini. Isu lain adalah
identitas diri, spiritualitas dan soal-soal eksistensialisme manusia.
“Jika kamu bertanya padaku, aku orang
apa, aku akan membutuhkan beberapa saat untuk menjawab. Aku orang apa. Kulitku
kuning, namun aku bukan China, bukan Jawa, juga bukan Bali sepenuhnya. Aku
lahir di Jawa, dari keturunan China, menikah dengan orang Bali. Intinya, aku
orang Indonesia. Jika kamu bertanya, apa agamaku, aku tak bisa langsung
menjawab. Aku beragama ketulusan hati. Tuhanku adalah keikhlasan dan kejujuran
pada diri sendiri.” Demikian kata pembuka dalam pentas ini.
Hermawati aktor yang lahir dalam dua
budaya, dan dalam pencarian jati dirinya ia menemukan “rumah” sesungguhnya,
rumah yang ia yakini, bukan rumah fisik namun rumah jiwanya. Pencarian ini
sungguh panjang dan hampir sia-sia, namun ia tetap berjuang. Perjuangannya
masih berlanjut dan belum berakhir.
Tujuan utama proyek “Pentas 11 Ibu 11 Panggung
11 Kisah” belajar mendengar ibu. Dalam ajang ini, para
ibu berbagi pada audiens tentang isu dan kegelisahan mereka. Siapa pun, terutama seorang ibu barangkali punya kerinduan tentang mendengarkan
dan didengarkan. Namun, realitas kadang berkata lain, ibu kadang jarang mendengarkan, atau jarang
didengarkan. Seorang ibu sangat kompleks. Teater tumbuh di antara proses
mendengarkan.
Kadek
Sonia Piscayanti, sang sutradara menyatakan seorang
ibu memiliki terlalu banyak isu yang menggantung di pundak mereka, sehingga
seringkali mereka abai pada suara sendiri karena menganggap isunya tidak
penting padahal sering menjadi beban pikiran. Teater adalah ruang
alternatif untuk bertemu dan saling mendengarkan. Pementasan bukanlah sebuah
tujuan utama, namun berbagi cerita. Jika pada akhirnya pementasan menjadi
sebuah sarana berbagi inspirasi, maka itulah dampak yang diharapkan, bahwa
nilai-nilai yang selama ini diyakini sendiri, bisa menjadi perspektif baru bagi
orang lain. Di
sini teater hadir sebagai media alternatif ‘pertemuan’
ide, persemaian cerita, dan pembentukan nilai baru. Menurut Sonia, teater sejatinya sebuah dokumentasi gagasan, pikiran dan visi, juga perspektif.
Seorang aktor dan aktivis teater dari Jakarta, Roy Julian, akhirnya mengakui
bahwa proyek ini sangat organik dan orisinal serta menjadi sebuah tawaran ide
baru dalam konteks teater Indonesia. Teater menjadi media berbagi
dan media penyembuhan trauma atau healing.
Roy yang menonton pentas kedua di rumah Mahima menambahkan, subjek ibu yang
digarap dalam proyek ini merupakan simbol yang sangat dekat dengan kita. Siapa pun memiliki momen romantik dan mengharukan bersama ibu. Bahkan Ibu lekat
menjadi simbol perjuangan. Memori kolektif terhadap ibu menjadi kesadaran
bersama yang dibangun dalam pementasan.
Pentas pertama dilaksanakan 24 Juli 2018
dengan aktor Erna Dewi di rumahnya sendiri dan pentas kedua dilaksanakan 12
Agustus 2018 dengan aktor Watik di rumah Belajar Komunitas Mahima. Proyek Pentas 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah merupakan salah satu proyek yang
lolos sebagai hibah dari
Ford Foundation melalui Cipta Media Ekspresi.
Adapun 11 ibu yang dilibatkan berasal
dari berbagai kalangan, yaitu buruh bangunan, pembantu rumah tangga, PNS, guru, bidan, desainer,
dokter yang seniman, penulis puisi, pembaca tarot, ahli tata rias, hingga
profesor di perguruan tinggi. Mereka adalah Watik, Sukarmi, Erna Dewi, Cening Liadi,
Ketut Simpen, Sumarni Astuti Dirgha, dr. Tini Wahyuni, Desak Putu Astini, Yanti
Pusparini, Hermawati, dan Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih. (b.)
KOMENTAR