Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Wayan Dibia memasuki masa purnabakti per tanggal 1 Mei 2018. Selama 44 tahun mengabdi di ISI Denpasar, nama Dibia sudah cukup dikenal, bahkan mendapat julukan sebagai “Macan ASTI”. Memang, Dibia memulai mengabdi di lembaga pendidikan tinggi seni di Bali itu sejak lembaga itu bernama Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), lalu berubah menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan kini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Menandai masa purnabaktinya, Dibia tak henti berkarya. Dia kini menggarap seni drama tari (sendratari) rekonstruksi “Jayaprana”. Sendratari ini merupakan rekonstruksi dari garapan empu seni Bali, I Wayan Beratha pada tahun 1962 silam. Hasil garapan rekonstruksi Dibia ini rencananya dipentaskan, Minggu (6/5) mendatang di panggung terbuka Nertya Mandala, Kampus ISI Denpasar. Selain menampilkan sajian sendratari, Dibia juga meluncurfkan dua buku, yaitu autobiografi dan buku khusus persembahan para dosen dari Fakultas Seni Pertujukan ISI Denpasar.
I Wayan Dibia mengarahkan para penari dan penabuh dalam latihan garapan sendratari rekonstruksi “Jayaprana” karya maestro I Wayan Beratha. |
Dibia yang kelahiran Singapadu, Gianyar, 14 April 1948 ini menegaskan, garapan sendratari ini dikemas dalam olahan gerak, tari, lakon yang diikat dengan iringan musik seperti awal diciptakan Wayan Beratha. “Menarik, karena Pak Rektor juga ikut magambel, didukung para dosen di jurusan Kerawitan, Tari dan Pedalangan,” jelas guru besar yang menyelesaikan pendidikan S2 dan S3-nya di Amerika itu.
Sendratari “Jayaprana” garapan Wayan Beratha inilah, kata Dibia, yang memberikan landasan bagi perkembangan sendratari di Bali. Namun, dirinya mengamati perkembangan sendratari belakangan ini mulai bergeser. “Sekarang sendratari hanya jadi tontonan. Enak ditonton saja tetapi konsepnya lemah. Sedangkan garapan ini, kita tentukan dengan terukur, dalang ruangnya terukur, penari, lakon dan iringan benar benar terukur,” ungkap lulusan ASTI Denpasar 1975.
Dibia menekankan, yang dimaksud dengan ruang yang terukur yakni tidak adanya improvisasi berlebihan, baik penari, dalang dan iringan musik. “Jadi, sendratari, ya, di mana dalangnya, gerak penarinya terukur. Artinya, di sini diperlukan penari yang benar-benar bisa menari, waktunya tepat, durasinya tidak molor,” tegas Dibia.
Rektor ISI Denpasar, I Gede Arya Sugiartha merasa bangga, Bali, khususnya ISI Denpasar, memiliki tokoh budayawan sekelas Dibia. “Beliau mengajar dengan tegas, lugas, konsisten dengan waktu. Kalau salah dibilang salah. Tapi dengan cara itu anak- anak didiknya jadi disiplin. Beliau mengajarkan ketegasan. Beliau juga memiliki pengetahuan lengkap, mulai praktik kesenian sejak kecil, bapaknya seorang penari arja terkenal. Mengenyam pendidikan seni, zaman itu sudah kuliah di Asti Yogya, S2 dan S3 di Amerika. Saya sendiri dibimbing Pak Dibia. Saya bangga dengan beliau,” sanjungnya.
Menurut Arya Sugiartha, Dibia memang kini memasuki masa purnabakti. Namun, kata Arya Sugiartha, pihaknya masih membutuhkan keahliannya. Karena itu, ISI Denpasar mengangkat kembali Dibia menjadi dosen non-PNS. “Kita akan tetap membutuhkan Prof. Dibia untuk mengajar di kampus ISI,” tandasnya.
Garapan sendratari rekonstruksi “Jayaprana” dibagi dalam tujuh babak. Hubungan Masyarakat (Humas) ISI Denpasar, I Gede Eko Jaya Utama, menyebutkan jumlah seniman yang dilibatkan untuk penabuh sebanyak 30 orang dan penari sebanyak 50 orang. (b.)
Teks dan Foto: I Nyoman Dhirendra
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI