Musik itu sejatinya sakral. Dalam sejarahnya, setiap penciptaan musik di berbagai negara selalu berkaitan dengan Tuhan. Musik merupakan per...
Musik
itu sejatinya sakral. Dalam sejarahnya, setiap penciptaan musik di berbagai
negara selalu berkaitan dengan Tuhan. Musik merupakan persembahan. Apalagi di
Bali, musik identik dengan kesucian, sakral dan dijadikan bahasa ungkap
untuk persembahan kepada Tuhan.
"Musik
diciptakan tak jauh dari Tuhan," ungkap pegiat musik dari Sacred Bridge
Foundation Serrano Sianturi, ketika berkunjung ke Rumah Budaya Penggak Men
Mersi, Kesiman, beberapa waktu lalu. Kedatangan Serrano Sianturi
didampingi budayawan Komang Astita dan diterima Kelian Penggak Kadek
Wahyudita bersama komposer muda I Wayan Sudiarsa (Pacet Dejavu), seniman Ketut
Lanus, Kadek Bakti Wiyasa (perupa), dan beberapa seniman muda lainya.
![]() |
Ngobrol seni di Penggak Men Mersi bersama Serrano Sianturi (kiri). |
Topik
obrolan sore itu begitu cair dan menarik. Serrano sangat
mengapresiasi gagasan serta program-program seniman muda di Bali yang
kreatif. Kunjungan kali ini merupakan sebuah penjajagan awal untuk
menjadikan satu kesatuan kehidupan berkesenian yang melibatkan berbagai
kelompok, pegiat seni musik, pencipta, seniman muda dari berbagai daerah hingga
mendatangkan seniman negara lain di Bali.
Serrano
menuturkan, pihakbya sedang merancang sebuah kegiatan budaya yang akan
melibatkan para seniman muda dari berbagai negara di Bali tahun
depan. "Ini bagian dari penjajagan awal dengan mengunjungi sejumlah
komunitas. Pelaku seni di Bali kami libatkan nanti dalam agenda yang kita
rancang bernama Sacred Rhythm," ungkap Serrano.
Sejatinya,
kata dia, kegiatan ini pernah dilaksanakan 20 tahun silam, melibatkan para
seniman, budayawan Bali di Pura Samuan Tiga, Gianyar. "Jadi, kegiatan ini
lebih pada merecovery Sacred Rhythm
ini 20 tahun lalu di Pura Samuan Tiga," ungkapnya.
Serrano
menambahkan kegiatan ini lebih pada menjalin satu interaksi berkesenian dari
berbagai genre, seniman yang berbeda, saling mengunjungi, berkomunikasi
sehingga kesenian menjembatani segala hal, baik politik, sosial maupun ekonomi.
"Pertemuan dengan beberapa seniman tidak saja dari dalam negeri, juga
datang dari berbagai penjuru negara di dunia," imbuhnya.
Kelian
Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita menyambut positif kunjungan Serrano.
"Kami sangat senang, dan menyambut baik. Sebuah proses kekaryaan itu
tidak saja hasilnya berupa karya seni semata, melainkan mampu
menjembatani kepentingan, baik hubungan manusia dengan manusia, hubungan dengan
alam terlebih dengan Tuhannya," jelas Wahyu.
Pihaknya
menekankan, sejauh ini keterlibatan seniman muda di Bali sejatinya telah
berkembang cukup baik. Buktinya banyak sanggar, komunitas seni yang lahir
dengan identitasnya masing-masing. Hanya saja, jalinan antara seniman,
komunitas atau sanggar di Bali perlu ditingkatkan.
"Gagasan
mempertemukan para musisi gamelan nanti tentu menarik. Bagi kami sangat
kita sambut baik. Ini juga bagian dari visi Penggak yang menitikberatkan pada
penggalian akar-akar seni, baik klasik, dengan merekontruksi kesenian
langka sehingga tidak punah," jelasnya.
Wahyu
menambahkan, berbagai kegiatan festival yang pernah digarap seperti, Kesiman
Progresif, Rare Bali Festival, adalah satu upaya untuk mengembalikan
konsep berkesenian, terutama melibatkan anak-anak. Kesenian klasik, menurut
Wahyu, memiliki nilai khusus bagi orang Bali karena merupakan identitas kulturalnya.
"Berkesenian bagi orang Bali sangat erat hubungannya dengan tata
kehidupan sehari hari. Berkesenian telah menjadi nafas kehidupan orang
Bali," pungkasnya. (b.)
COMMENTS