Jargon jaen idup di Bali kini populer di
kalangan anak-anak muda Bali. Terlebih lagi, sejumlah musisi dan penyanyi muda
Bali mengangkat jargon ini dalam lagu garapan mereka. Band 703 dari Gianyar
merilis lagu “Jaen Idup di Bali”. Sejumlah band indie juga menciptakan dan
melantunkan lagu dengan judul sama yang dipublikaskan melalui situs berbagi
video, Youtube.
Pada tahun
2016, arranger dan produser lagu pop
Bali, Dek Artha mengaransemen lagu berjudul “Jaan Idup di Bali” yang kemudian dipopulerkan penyanyi muda Bali,
Tut Sana. Bait pertama lagu ini mirip dengan kalimat terakhir dalam cerpen “Jaen Idup di Bali”.
![]() |
Orang Bali guyub dalam kegiatan adat. |
Jaen hidup di Bali/ Saja yen ngelah pipis/ Ada
masi ane mebalik/ Nyen ngorang jaen idup di Bali/ Yen sing amah timpal amah
leak//
Terjemahan
bebasnya: Enak hidup di Bali/ Itu benar jika punya uang/ Ada juga yang
sebaliknya/ Siapa bilang enak hidup di Bali/ Kalau tidak dimakan teman, ya,
dimakan leak//
Jargon jaen idup di Bali menjadi semacam
ungkapan satire atas kehidupan masyarakat Bali dewasa ini yang makin berat. Di
luar, Bali memang dicitrakan sebagai tempat penuh harapan, seperti julukan
Pulau Surga atau Pulau Dewata. Pada kenyataannya, masyarakat Bali justru
merasakan kondisi sebaliknya.
Gambaran
paradoks itu juga direkam cerpenis muda Bali, Made Suar-Timuhun dalam cerpen berjudul
serupa, “Jaen Idup di Bali”. Cerpen
diawali dengan paparan latar belakang perubahan pesat yang terjadi di Bali
akibat pengaruh pariwisata. Industri pariwisata mencitrakan Bali sebagai Pulau
Surga sehingga banyak orang ingin datang. Banyak orang berpikir enak hidup di
Bali. Industri pariwisata yang membutuhkan lahan untuk membangun sarana
akomodasi menyebabkan nilai tanah di Bali semakin tinggi. Harga tanah di Bali
kian mahal hingga membuat banyak orang Bali menjual tanahnya kepada orang luar
Bali. Sepintas, perkembangan pariwisata memang terlihat menguntungkan orang
Bali, tetapi keuntungan yang jauh lebih besar justru dinikmati para investor
yang membeli tanah-tanah di Bali. Jarang ada orang Bali yang memegang jabatan
penting di usaha-usaha pariwisata, paling-paling menjadi buruh.
Manakala
banyak orang luar berlomba-lomba datang ke Bali, kisah sebaliknya dialami tokoh
utama cerpen ini, Made Pica. Dia harus meninggalkan tanah kelahirannya karena
sakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh. Berbagai cara sudah ditempuh,
tetapi selalu gagal. Balian (dukun)
yang ditanya menyebut Made Pica terkena “sakit Bali” dan yang menyakiti adalah
saudaranya sendiri. Akhirnya, Made Pica ditemani ibunya bertemu dengan seorang
Jero Dalang di Bangli. Akan tetapi, Made Pica tidak mendapatkan obat, hanya
diberikan jalan untuk mencapai kesembuhan. Satu-satunya jalan, yakni
meninggalkan Pulau Bali.
Kendati pun
berat hati, Made Pica memenuhi saran Jero Dalang agar meninggalkan Pulau Bali.
Made Pica memilih bertransmigrasi ke Kalimantan. Sungguh ajaib,
baru saja menginjakkan kaki di tanah Kalimantan, sakitnya langsung hilang.
Sejak saat itu, Made Pica memilih menetap di Kalimantan. Dia bekerja di sana
dan menikah dengan sesama orang Bali yang juga sebagai perantau di Kalimantan.
Made Pica pun dikaruniai dua anak, I Putu Bagia dan Ni Kadek Laksmi.
Dua puluh
tahun tinggal di Kalimantan, Made Pica mulai merasakan situasi paradoks. Jika
di Bali dulu dia merasakan begitu pahitnya hidup, di tanah rantau dia justru
merasakan sebaliknya. Dia tidak pernah mengalami sakit keras di Bali.
Tetangganya, baik yang sesama orang Bali maupun penduduk lokal di Kalimantan
umumnya baik hati, tidak ada yang iri hati dan mengganggu dirinya.
Akan tetapi,
sebagai orang Bali yang lahir di Bali, Made Pica secara jujur memiliki
kerinduan untuk pulang ke Bali. Terlebih lagi, pertanyaan serupa juga sering
dilontarkan anaknya yang sangat tertarik pulang ke Bali karena membaca status
teman-temannya di Bali yang menyebut jaen idup di Bali (enak hidup di Bali).
Namun, kerinduan untuk pulang ke Bali itu dibayang-bayangi ketakutan bakal
kembali mengalami kesengsaraan hidup. Tidak semua orang merasakan enak hidup di
Bali.
Cerpen “Jaen
Idup di Bali” mengetengahkan motif perubahan Bali yang justru berdampak secara
paradoks bagi orang Bali. Ketika banyak orang ingin datang ke Bali karena
menganggap enak hidup di Bali, tokoh Madé Pica yang merupakan penduduk lokal
Bali justru merasakan sebaliknya, pahitnya hidup di Bali.
Miribang makejang krama di gumine meled
pesan ngasanin jaen idup di Bali, makejang meled ngelah tanah di Bali. Malenan
teken Made Pica, ia suba duang dasa tiban sing maan mulih ka Bali. Ia nu itep
nyalanin idup di rantauan. Dugas ento taun 1995 ia transmigrasi ka Kalimantan.
Boya ulian sing demen idup di Bali, nanging ulian ngasanin pait idup di Bali.
(Suar-Timuhun, 2015: 98)
(Mungkin
setiap orang di dunia ingin sekali merasakan enaknya hidup di Bali, semua ingin
memiliki tanah di Bali. Berbed dengan Made Pica, dia sudah dua puluh tahun
tidak sempat pulang ke Bali. Dia masih tetap menjalani hidup di rantauan. Kala
itu tahun 1995 dia bertransmigrasi ke Kalimantan. Bukan karena tidak suka hidup
di Bali, tetapi karena merasakan betapa pahitnya hidup di Bali.)
Dominannya
motif tempat dibandingkan motif perasaan dalam cerpen “Jaen Idup Bali”
mengindikasikan kuatnya aspek perubahan fisik yang berimplikasi pada perubahan
nonfisik yakni sikap masyarakat Bali menghadapi perubahan sosial. Cerpen “Jaen
Idup di Bali” merefleksikan kegelisahan orang Bali akibat begitu cepatnya
perubahan fisik yang terjadi, seperti alih fungsi lahan dan bahkan alih
kepemilikan lahan. Apabila tanah Bali sudah berubah, tidak sepenuhnya lagi
dimiliki orang Bali, maka perubahan budaya Bali menjadi sesuatu yang niscaya. Adakah
begitu kini dirasakan generasi muda Bali?
Kendati pun
demikian, tokoh utama cerpen, Made Pica, di akhir cerita masih memiliki mimpi
yang kuat untuk kembali ke Bali, tanah kelahirannya yang telah begitu jauh
berubah. Ini seperti menyampaikan pesan pengarang bahwa sepahit apa pun
perubahan yang dialami Bali, kecintaan orang Bali terhadap tanah kelahirannya
tidak akan pernah luntur meskipun dibayang-bayangi kepahitan hidup jika kembali
lagi ke Bali.
Teks: I Made Sujaya
Foto: LPD Desa Adat Kedonganan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar