Coba perhatikan berbagai ritual yang digelar di berbagai pura maupun tempat suci lain di Bali kini, senantiasa diwarnai pementasan tari Rej...
Coba perhatikan berbagai ritual yang digelar di
berbagai pura maupun tempat suci lain di Bali kini, senantiasa diwarnai
pementasan tari Rejang Renteng. Ini memang trend baru di kalangan masyarakat
Bali setidaknya sejak tiga tahun terakhir. Tarian khas Nusa Penida yang sempat
hendak punah ini kini tidak hanya bangkit, tapi membius masyarakat Bali.
Akhir Januari lalu misalnya, krama Desa Adat Legian
menggelar Karya
Agung Mamungkah Pedudusan Agung di Pura Dalem
Kahyangan Desa Adat Legian. Sekelompok perempuan dewasa
yang umumnya sudah berstatus ibu, berlenggak-lenggok di halaman tengah pura.
Mengenakan kebaya putih yang dipadu kain kamben dan selendang kuning, mereka
terlihat ayu dengan wajah yang cukup berbinar. Mereka sedang menari Rejang
Renteng.
![]() |
Penari Rejang Renteng. (sumber foto: www.denpasarkota.go.id) |
Tak hanya di Desa Adat Legian, di berbagai desa
pakraman dan tempat lain di Bali, kini sedang dilanda demam tari Rejang
Renteng. Hampir setiap upacara penting di tiap desa, banjar, pura dan lainnya
kini senantiasa disertai persembahan tari Rejang Renteng. Di beberapa desa,
tari Rejang Renteng malah baru pertama kali digelar.
Penarinya memang didominasi kaum ibu. Tak semua bisa
menari, malah lebih banyak yang baru belajar menari. “Mendadak jadi penari,”
celetuk seorang ibu sembari terkekeh.
Di Desa Pakraman Kusamba, Klungkung, puluhan ibu juga
sedang belajar menari Rejang Renteng. Mereka akan menari saat puncak Karya
Agung Memungkah, Tawur Lebuh Gentuh, Pedanan lan Ngenteg Linggih Pura Puseh lan
Bale Agung Desa Pakraman Kusamba, 4 April mendatang. “Penari diambil lima orang
dari tiap banjar,” kata Ketua Panitia Karya, I Nengah Sumarnaya.
Tak hanya untuk kepentingan ritual, tari Rejang
Renteng juga dipentaskan di luar kepentingan ritual. Saat peringatan ke-109
Puputan Klungkung dan HUT ke-25 Kota Semarapura, 1.000 perempuan Klungkung
menarikan Rejang Renteng di kawasan Catur Muka Kota Semarapura. Tari Rejang
Renteng juga dilombakan. Desa Beraban menggelar lomba tari rejang renteng
serangkaian perayaan Hari Ibu akhir tahun 2017 lalu. Bahkan, tari Rejang
Renteng juga memikat politisi. Deklarasi calon gubernur dan wakil gubernur
Bali, Wayan Koster-Cok Ace juga disemarakkan dengan penampilan ratusan penari
Rejang Renteng.
Ketua Listibiya Klungkung, I Dewa Gede Alit Saputra
menuturkan Rejang Renteng memang merupakan tarian sacral khas Nusa Penida. Rejang Renteng merupakan tari
persembahan yang gerakannya sederhana. Ciri khas tarian ini, penari saling memegang selendang
penari secara sambung-menyambung lalu melingkar layaknya murwa daksina. Tari Rejang Renteng ini sempat nyaris
punah. Namun, tim kesenian Provinsi Bali berhasil merekonstruksi tarian ini
sekitar tahun 1990-an. Sejak saat itu, tari Rejang Renteng kembali
eksis.
Ketua Program Studi Pendidikan Seni Tari, Drama, dan
Musik (Sendratasik), Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP PGRI Bali,
Gusti Ayu Made Puspawati mengakui tari Rejang Renteng kini sedang menjadi trend
di kalangan masyarakat Bali. Demam tari Rejang Renteng, menurut amatan
Puspawati, terjadi sejak tahun 2014.
Menurut Puspawati, tari Rejang Renteng sejatinya
merupakan tarian sakral karena mengiringi upacara keagamaan Hindu di Bali. Tari
Rejang Renteng ditarikan secara berkelompok untuk melengkapi prosesi upacara
Pangider Bhuwana. “Tarian ini sebetulnya tidak harus dibawakan oleh ibu-ibu,
anak-anak dan remaja juga boleh. Hanya, kini menjadi trend ketika ditarikan
oleh ibu-ibu,” kata Puspawati.
Tari Rejang, kata Puspawati, merupakan simbolis tarian
bidadari dari surga yang turun untuk mengharmonikan bumi. Renteng bermakna
sebagai paiketan, saling berkaitan, saling berhubungan satu sama lain. Hal ini
disimboliskan dengan gerakan memanda di akhir tarian yakni di antara para
penari saling memegang selendang rekannya hingga membentuk rangkaian yang tidak
terputus.
Menurut Puspawati, popularitas tari Rejang Renteng
karena gerakan dan busananya yang sederhana. Orang yang tidak bisa menari bisa
segera menarikannya hanya dengan belajar beberapa kali saja.
Ada dua gerakan utama dalam tari Rejang Renteng, yakni
nyalud dan ngelung. Nyalud merupakan gerak
tangan yang mengarah ke dalam dengan kedua
lengan menutup dan membuka di depan dada
dan posisi kaki secara bergantian kanan dan kiri berada di depan. Ngelung berupa gerakan
merebahkan diri ke kanan dan kekiri disertai satu tangan lurus ke samping dan
satu menekuk ke arah dada.
“Yang utama sebetulnya semangat ibu-ibu untuk
ngaturang ayah saat upacara. Dengan bekal kemampuan menari seadanya, mereka
bisa ikut ngayah,” kata Puspawati.
Memang, diakui Puspawati, ada juga motivasi untuk
tampil di hadapan orang banyak. Namun, Puspawati memandangnya secara positif
karena dengan belajar menari Rejang Renteng, ibu-ibu di banjar atau
kelompok-kelompok sosial lainnya bisa bersosialisasi, berinteraksi satu sama
lain.
“Hal yang penting juga perlu dilihat dari fenomena
ini, ibu-ibu jadi gembira, bahagia dan senang saat ngayah di pura,” kata Puspawati. (b.)
KOMENTAR