Purnama
Kadasa, Sabtu (31/3) begitu ditunggu-tunggu krama
subak Desa Adat Tista, Kecamatan Busungbiu, Buleleng. Hari itu, sedang
dilangsungkan ngusaba nini di Pura
Taulan. Yang istimewa, ngusaba nini
ditandai dengan tradisi unik, nyepi abian.
Seharian penuh, para petani yang subak kering itu berpantang beraktivitas di tegalannya.
“Usai
maturan ke Pura Taulan dan di palinggih Ida Ayu Manik Congkeh di
tengah tegalan, nyepi abian dimulai,”
kata salah seorang krama subak Desa Tista, Ni Ketut Taman.
![]() |
Mempersembahkan banten nini di palinggih Ida Ayu Manik Congkeh. |
Taman
menuturkan, upacara ngusaba nini mesti dilakukan pagi-pagi benar. Setelah maturan
ke Pura Taulan, krama subak akan mempersembahkan sejumlah sesaji khas. Di
antaranya banten sorohan, pejati, tegen-tegenan, penjor. Ada juga banten nini yakni sebuah bakul kecil
yang berisi aneka hasil panen di tegalan. Sesaji khas lainnya, nasi wong-wongan yang berbentuk aneka
jenis hama yang ada di tegalan. Ada nasi
wong-wongan itu ada yang berbentuk semut, tikus, ular, tupai, bahkan
kidang.
“Nasi wong-wongan ini semacam permohonan
agar seisi tegalan dihindarkan dari segala hama,” kata Taman.
Usai
upacara di palinggih tegalan, para
petani akan segera pulang ke rumah masing-masing karena prosesi nyepi abian dimulai. “Selama nyepi
abian, para petani benar-benar beristirahat dari kegiatan di tegalan, tak boleh
beraktivitas,” ujar Taman.
Mantan
Bendesa Adat Tista, I Putu Sudarta menuturkan tradisi nyepi abian ini sudah diwarisi sejak lama. Bahkan, kata Sudarta,
Pura Taulan sudah ditemukan jauh sebelum Tista berkembang sebagai desa seperti
sekarang. Tradisi nyepi abian diduga
sudah dimulai pada masa itu.
Karena
itu, krama Desa Adat Tista tetap melanjutkan tradisi lama itu. Tak ada yang
berani melanggar. Kalau ada yang melanggar, kata Sudarta, akan dikenai sanksi
denda Rp 10.000 dikalikan jumlah krama
subak. Jumlah krama subak tercatat
136 krama.
“Kalau
ada yang melanggar itu namanya mencuri. Yang melanggar itu kena denda uang Rp
10.000 dikalikan jumlah anggota subak dan diumumkan di banjar,” kata Sudarta.
Jumlah krama subak di Tista tercatat
136 krama.
![]() |
Nasi wong-wongan berbentuk aneka jenis hama di tegalan. |
Namun,
kata Sudarta, selama ini tidak pernah ada yang sampai melanggar. Semua krama subak dan krama desa sadar untuk menjaga dan menghormati tradisi nyepi abian itu.
Peneliti
tradisi lisan dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Made
Wiradnyana menilai tradisi nyepi abian
memiliki pesan ekologis, spiritual dan sosiologis. Nyepi lokal saat ngusaba atau awal tahun merupakan
semacam ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas karunia Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Ungkapan syukur itu diwujudkan dengan memberikan kesempatan alam
beristirahat sejenak sekaligus memberi ruang krama merenung dalam diri sejauh
mana sudah meminta kepada alam. Jika mayoritas warga bekerja sebagai petani,
ungkapan syukur dilakukan dengan melaksanakan nyepi di abian (tegalan) atau di sawah. Begitu juga ajika sebagian besar
krama berprofesi sebagai nelayan, ungkapan syukur itu diwujudkan dengan nyepi
di pantai atau nyepi sagara.
“Ini
juga mendidik orang Bali agar tidak hanya ingin mengambil saja dari alam,
tetapi juga ingat memberi. Paling tidak, memberi kesempatan alam tenang sesaat,
terbebas dari eksploitasi manusia,” tandas Wiradnyana. (b.)
Teks dan Foto: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar