Kembali, hari suci Nyepi menjadi momentum istimewa. Jika dua tahun lalu perayaan Nyepi berbarengan dengan gerhana matahari total, kini Ny...
Kembali, hari suci Nyepi menjadi
momentum istimewa. Jika dua tahun lalu perayaan Nyepi berbarengan dengan
gerhana matahari total, kini Nyepi tahun baru Saka 1940 berbarengan dengan hari
Saraswati. Pertemuan dua hari penting ini, sepertinya hendak membawa pesan
khusus bagi umat Hindu: menjemput anugerah Saraswati dengan sepi.
Hari Nyepi memang menjadi tradisi
unik dan otentik peninggalan leluhur Bali yang sulit ditemukan di belahan dunia
yang lain. Sebuah ritual paradoksal dalam menandai pergantian tahun, memang.
Ketika manusia atau etnis dari bagian lain di dunia ini menandai pergantian
tahun nya dengan sumringah riah pesta, Bali
justru sebaliknya. Bali memilih beristirahat
total, memberi jeda sang waktu.
Kini, manakala kehidupan tanpa
sekat jarak dan waktu menebarkan begitu banyak kekalutan akibat persaingan
hidup yang tiada henti, manusia dari berbagai belahan bumi ini justru amat
merindukan sepi, sunyi. Mereka rindu untuk berhenti sejenak, membebaskan diri
dari geliat untuk terus dan terus menginjak gas dalam perjalanan dunia yang
teramat panjang dan melelahkan ini. Mereka rindu untuk mengembalikan diri ke
titik nol kilometer, mengumpulkan kembali energi untuk memenangkan persaiangan
dalam hidup dan kehidupa ini.
Namun, sepi, sunyi bukanlah
sekadar sebuah pelampiasan atas segala kepenatan. Sunyi, sepi juga adalah
sebuah ruang yang merangsang lahirnya ide-ide baru, kehidupan baru yang lebih
baik.
Orang-orang besar dengan hasil
cipta atau temuannya yang gemilang dan bermanfaat bagi umat manusia juga
memulainya dari sepi, sunyi. Albert Einstein yang kini menjadi ikon kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, berhasil merumuskan gagasan teori relativitas
setelah menyelami keheningan dalam sebuah peristiwa kecil: jatuhnya buah apel
dari pokoknya. Begitu pula Thomas Alva Edison menemukan bola lampu justru di
tengah keheningan dan kegelapan.
Janganlah dibilang lagi para kawi di masa lalu yang berhasil
menyuratkan karya sastra mahaagung ketika bersedia bersenggama dengan sunyi,
sepi, hening dan heneng. Mereka sangat menghargai dan telah pula mengajari
betapa sunyi mesti diselami dengan kedalaman hati. Sunyi atau sepi tak semata
dijadikan sarana untuk menuju tetapi juga tujuan itu sendiri. Mpu Panuluh atau
pun Mpu Tanakung, dua pujangga besar negeri ini berabad silam dengan amat
bersahaja mengguratkan sunyi dan sepi sebagai puncak tujunya. Melalui jalan kekawin,
jalan sastralah puncak itu digapai.
Karena itu, tradisi nyastra para kawi
senantiasa menggambarkan sebuah pencarian tiada henti kepada sepi. Karena itu
pula, kekawin-kekawin tiada pernah obah melukiskan keindahan
gunung, laut dan pantai dengan kekentalan nuansa sepinya. Selanjutnya di
wilayah sepi, di kerajaan sunyi inilah sang kawi menolong diri sendiri,
membebaskan sang diri.
Pada titik inilah, relasi antara Nyepi dan Saraswati
penting direnungkan. Dalam tradisi Hindu, pun di Bali, pengetahuan merupakan
anugerah suci. Kesediaan untuk mengosongkan diri, menyelami sepi sepenuh hati,
justru menjadi syarat untuk mampu menjemput kesucian ilmu pengetahuan. Mari
menjemput anugerah suci sang Dewi Ilmu Pengetahuan dengan sepi. (b.)
Teks dan Foto: Ketut
Jagra
COMMENTS