Hari suci Nyepi segera menjelang. Tiga hari menjelang Nyepi, umat Hindu
bakal tumpah-ruah mengarus menuju sumber-sumber mata air. Umumnya ke pantai.
Tapi, ada juga yang datang ke danau atau sumber-sumber mata air lainnya.
Sejak subuh, iring-iringan orang
Bali akan memenuhi jalan-jalan menuju pesisir atau pun sumber-sumber mata air.
Tradisi Bali menyebut ritual ini sebagai melasti.
Secara filosofis melasti merupakan sebuah ritual
penyucian bhuwana alit dan bhuwana agung menjelang pergantian tahun
Saka. Ketika tahun baru hadir, seluruh dunia diharapkan berada dalam kondisi
suci kembali, seperti sebuah kelahiran baru.
Ada yang menyebut kata melasti berasal dari kata melas dan thi. Melas berarti
‘menyucikan’ dan kata thi berarti
‘kotor’. Namun, ada juga yang menyatakan kata melasti sesungguhnya berasal dari kata lasti. Lasti berarti
‘tepi’. Melasti berarti ‘menuju ke
tepi’: tepi laut, tepi danau, tepi sumber-sumber mata air.
Dari sinilah kemudian muncul
pemaknaan melasti sebagai perjalanan
menuju air, prosesi yang mengingatkan manusia untuk senantiasa merawat
sumber-sumber air. Ini merupakan sebuah ritual yang kental semangat kehidupan
agraris yang begitu berkepentingan menjaga sumber-sumber air.
Tak keliru, memang. Agama yang
dianut orang Bali , sebelum dikenal dengan nama
Hindu kerap disebut sebagai agama tirtha,
agama air. Air (tirtha) menjadi kunci
dari segala ritual keagamaan orang Bali .
Karenanya, dalam tradisi Bali,
air mendapat posisi amat penting. Tradisi Bali mengagungkan betul sumber-sumber
mata air semacam laut, sungai, klebutan, danau dan lainnya.
Karenanya, melasti merupakan momentum untuk mengingatkan manusia Bali tentang
betapa pentingnya air itu bagi kehidupan. Untuk itulah, sumber-sumber air mesti
dirawat, mesti dijaga, mesti dipelihara sepenuh dan setulus hati demi
kelangsungan hidup dan kehidupan.
Bila sumber air mengering, itu
artinya ada ketidakharmonisan dalam ekosistem hutan. Air akan tetap mengalir
bila hutan-hutan terjaga keutuhannya, bukit dan gunung terjaga kelestariannya.
Karena itulah, jika pada Sasih Kasanga orang
Bali diingatkan untuk mengarus menuju ke pusat-pusat air, pada Sasih Kadasa orang Bali diingatkan untuk
mengarus menuju ke gunung, ke pusat kesejehteraan hidup. Saat itulah digelar
Karya Batara Turun Kabeh di Pura Besakih.
Karena itu, melasti seyogyanya tak semata dimaknai sebagai ritual simbolik
penyucian bhuwana agung dan buwana alit. Namun, melasti juga patut dimaknai
lebih realis-kontekstual sebagai mementum untuk mengingat kembali, mengontrol
dan merawat sumber-sumber air Bali . Bila makin
banyak pantai dikapling hotel dan investor, bila makin banyak danau diserbu
vila dan restoran, sehingga ruang melasti menjadi kian sulit didapat, itu
berarti ada kekeliruan dalam mengelola sumber-sumber air. Dampaknya pun sudah
bisa kita rasakan, Bali semakin kerap dilanda krisis air. Itulah kini, semakin
hari semakin jelas dihadapi Bali. (b.)
Teks dan Foto: Jagadhita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar