Hari raya Nyepi tak bisa dipisahkan dari ogoh-ogoh. Boneka
raksasa kini sudah menjadi ikon hari raya Nyepi. Perayaan Nyepi terasa kurang
lengkap tanpa ogoh-ogoh. Itu sebabnya, ketika dulu pemerintah melarang
pembuatan ogoh-ogoh karena menjelang hajatan politik, banyak yang protes.
Sudah sejak dua bulan lalu, banjar-banjar di seantero Bali
disibukkan dengan aktivitas membuat ogoh-ogoh. Yang paling sibuk tentu saja
anak-anak muda yang tergabung dalam sekaa teruna. Mereka sibuk memikirkan tema
ogoh-ogoh yang akan dibuat. Umumnya memilih tema bhuta kala. Namun belakangan
ada yang mengambil tema-tema kontemporer, seperti antikorupsi. Kesibukan para
pemuda membuat ogoh-ogoh semakin terasa kuat sebulan terakhir.
Tradisi mengarak ogoh-ogoh memang merupakan tradisi baru.
Menurut catatan pendharma wacana
agama Hindu, I Ketut Wiana, tradisi mengarak ogoh-ogoh dimulai tahun 1980-an.
Menurut Wiana, ogoh-ogoh tidak disebutkan dalam sastra agama, keberadaannya
merupakan tradisi serangkaian perayaan hari Nyepi yang positif bagi pembinaan
kreativitas generasi muda Hindu. Hanya memang, menurut Wiana, para panglingsir atau pun prajuru banjar mesti tetap mengarahkan
anak-anak muda itu agar dalam memilih tema ogoh-ogoh tetap mengacu pada sastra
agama.
“Ingat ogoh-ogoh itu bukan wujud setan, tetapi bhuta kala. Bhuta kala itu bukan setan. Bhuta
kala itu cerminan rasa cemas kita yang mengerikan dalam menjalani hidup dan
kehidupan. Rasa cemas itulah yang kita somya
atau netralisir di hari pergantian tahun menuju kehidupan baru yang lebih
baik,” tegas Wiana.
Karena itu, Wiana mengingatkan, pembuatan atau pun
pengarakan ogoh-ogoh sebaiknya tidak terlalu berlebihan. Jangan malah sebaliknya,
ogoh-ogoh menjadi kontraproduktif karena memicu masalah sosial baru, seperti
bentrokan atau pun perilaku negatif seperti mabuk-mabukkan atau pun
menghambur-hamburkan uang.
“Istilah anak-anak muda sekarang, jangan lebaylah. Lebay itu
kan berlebihan. Jadi, menurut anak-anak muda juga berlebihan itu tidak baik,”
kata Wiana.
Pengamat seni dari ISI Denpasar, Kadek Suartaya menyebut
ogoh-ogoh sebagai media pembinaan seni anak-anak muda Bali. Suartana memuji
kemajuan teknik pembuatan ogoh-ogoh ini. Hal ini, kata Kadek Suartaya,
menunjukkan adanya perkembangan kerativitas anak-anak muda. Perkembangan ini,
kata Kadek, mesti disambut positif dan diberi saluran yang tepat agar
bermanfaat.
Perkembangan kreativitas pemuda ini tampaknya banyak dipicu
oleh gelaran lomba ogoh-ogoh yang biasanya difasilitasi pemerintah atau pun
desa adat. Motivasi untuk tampil sebagai pemenang mendorong lahirnya
kreativitas baru, baik dari segi tampilan ogoh-ogoh maupun teknik pembuatannya.
(b.)
Teks dan Foto: Ketut
Jagra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar