Di tengah suasana
hiruk-pikuk pemilihan kepala daerah (pilkada), pekan ini, orang Bali merayakan
hari Tumpek Wayang. Ini hari istimewa, memang. Wuku Wayang ditandai orang Bali dengan laku penyucian diri melalui
ritual bayuh oton. Di ujung wuku,
pada Saniscara Kliwon, Sabtu (24/2), dilaksanakan ritual Tumpek Wayang.
Secara tradisional,
Tumpek Wayang dimaknai sebagai hari pemuliaan kesenian. Perayaan Tumpek Wayang
menunjukkan bagaimana Bali amat memuliakan kesenian.
Bali memang amat lekat dengan kesenian. Ketaqwaan orang Bali
ditunjukkan dengan laku berkesenian. Nyaris tidak ada ritual keagamaan orang
Bali yang tidak mendapat sentuhan kesenian. Bagi orang Bali, kesenian ibarat
nafas, sesuatu yang tak terpisahkan dalam diri mereka.
Perihal Tumpek Wayang sebagai hari pemuliaan kesenian dapat
dilacak dari nama lainnya sebagai Tumpek
Ringgit. Hal ini berkaitan erat dengan pemahaan masyarakat Bali mengenai
Tumpek Wayang sebagai upacara terhadap segala jenis reringgitan (dalam
bahasa Jawa Kuna, ringgit berarti 'wayang').
Dalam lontar Sundarigama disebutkan, Tumpek
Wayang sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai
Sang Hyang Iswara, penguasa dalam bidang kesenian. Dari sinilah muncul
pemahaman mengenai Tumpek Landep sebagai hari kesenian ala Bali.
"Yang diupacarai saat Tumpek Wayang bukan hanya wayang,
tapi juga gong, gender, angklung, saron, kentongan, dan benda-benda seni lain," kata dosen
Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Made Wiradnyana.
Barangkali karena berkaitan dengan upacara terhadap segala
jenis benda-benda seni tabuh itulah lantas muncul pemaknaan baru terhadap
Tumpek Wayang sebagai pembelajaran demokrasi ala Bali. Seni tabuh atau gamelan
Bali yang melibatkan banyak unsur mencerminkan semangat keharmonisan dalam
keberagaman. Keharmonisan melahirkan keindahan sehingga menghadirkan kepuasan
di hati penonton.
Keharmonisan dalam gamelan Bali lahir dari perpaduan berbagai unsur yang
beragam, berbeda-beda. Setiap unsur berperan sesuai porsi dan proporsinya (swadharma).
Tidak ada yang lebih dominan karena semua berperan, semua berkontribusi.
Manakala salah satu mendominasi yang lain, keharmonisan terganggu. Keindahan
gamelan pun rusak. Renungan yang amat tepat di tengah masa-masa pilkada kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar