Desa Pakraman Kusamba Gelar "Karya Mamungkah" Pura Puseh-Bale Agung
Melaksanakan yadnya, umat Hindu memang tidak boleh
pamrih. Akan tetapi, yadnya mestinya
melahirkan perubahan yang lebih baik. Antara sebelum dan setelah yadnya, terjadi peningkatan dalam hal jnana maupun perilaku.
Pandangan ini
disampaikan Ida Pandita Empu Jaya Acarya Nanda saat memberikan dharma wacana di madya mandala Pura Puseh Desa Pakraman Kusamba, Kecamatan Dawan,
Kabupaten Klungkung, Minggu (28/1). Dharma
wacana yang dihadiri ratusan krama
Desa Pakraman Kusamba itu digelar serangkaian Karya Mamungkah, Tawur Labuh
Gentuh, Pedanan Ngenteg Linggih Pura Puseh lan Bale Agung Desa Pakraman
Kusamba.
“Jangan sampai
seperti kata para tetua, pesu lutung,
teka bojog. Yadnya yang kita
laksanakan harus sampai pada perubahan yang lebih baik,” kata Ida Pandita.
Yadnya besar, seperti karya mamungkah atau ngenteg linggih, sesungguhnya merupakan
investasi untuk mencapai kebahagiaan sekala
dan niskala. Sebagai sebuah
investasi, yadnya mesti menunjukkan adanya
perubahan yang lebih baik antara sebelum dan sesudah yadnya dilaksanakan.
"Dalam karya ngenteg linggih, pengharapan untuk
mencapai kebahagiaan bersama itu disimbolikkan dengan digunakannya bagia pula kerti. Bagia itu kebahagiaan. Itulah yang kita tanam untuk mencapai kesejahteraan,"
kata Ida Pandita.
Menurut Ida Pandita,
karya sejenis ngenteg linggih secara simbolik merupakan upaya membangun kembali
tatanan hidup yang lebih baik di desa pakraman. Penataan dilakukan dalam
rentang waktu satu generasi. "Menurut sastra agama, ngenteg linggih dilaksanakan setidak-tidaknya dalam waktu 30 atau
33 tahun sekali. Desa Pakraman Kusamba terakhir melaksanakan karya ini tahun
1992, baru 25 tahun. Jadi sudah lebih awal sehingga suatu hal yang sangat
baik," kata sulinggih yang rutin
mengisi acara “Dharma Wacana” di Bali TV.
Ida Pandita
menegaskan karya ngenteg linggih
sebagai investasi menata kehidupan yang lebih baik membutuhkan partisipasi dan
kontribusi positif semua krama sesuai
kemampuan dan kompetensinya masing-masing. Karena melibatkan semua potensi yang
ada di desa, dalam karya ngenteg linggih,
krama mesti mengendalikan diri. Melaksanakan
yadnya harus dilandasi sradha, tattwa, dan susila.
Ketua Panitia
Karya, I Nengah Sumarnaya menjelaskan puncak karya ini dilaksanakan pada 4 April 2018 bertepatan dengan pujawali di Pura Puseh-Bale Agung.
Namun, rangkaian karya sudah dimulai
1 Januari 2018 lalu ditandai dengan mlaspas
alit palinggih dan majaya-jaya
panitia karya.
“Karya ini diperkirakan menelan anggaran kurang
lebih Rp 1,5 miliar. Namun, banyak krama
yang antusias mapunia dalam bentuk
uang atau pun sarana upakara, seperti wewalungan,
sehingga mudah-mudahan anggaran bisa ditekan," beber Sumarnaya.
Bendesa Desa
Pakraman Kusamba, AA Gede Raka Swastika mengajak krama Desa Pakraman Kusamba
mensukseskan karya melalui yasa kerti, baik dalam bentuk perilaku
dengan jalan mulat sarira, maupun melalui
upacara. Raka Swastika mengharapkan dharma
wacana yang disampaikan Ida Pandita makin memantapkan sradha dan bhakti krama Desa
Pakraman Kusamba mensukseskan karya di
Pura Puseh lan Bale Agung. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar