Perayaan Siwaratri identik dengan begadang semalam suntuk. Namun, memuja Siwa saat Siwa Ratri bukan sekadar begadang semalam suntuk.
Perayaan hari Siwaratri selalu identik dengan kegiatan begadang semalam
suntuk. Untuk mengusir kantuk, umat Hindu biasanya mengisi perayaan Siwaratri
ini dengan berkeliling bersembahyang ke berbagai pura penting semalaman. Namun,
tak banyak yang memahami, perayaan Siwaratri bukan sekadar begadang semalam
suntuk. Siwaratri sejatinya momentum pendakian spiritual yang lebih dari
sekadar laku diri tidak tidur semalaman.
“Begadang semalam suntuk itu
sebagai simbol saja untuk mengingatkan kita agar senantiasa terjaga, sadar dan
ingat kepada jati diri,” kata dosen Agama Hindu IKIP PGRI Bali, IB Gde Bawa
Adnyana.
Memang, diakui Bawa Adnayana, tidak
mudah memahami makna hakiki perayaan Siwaratri. Namun, makna itu bisa
ditelusuri dari teks-teks susastra yang mendasari tradisi perayaan Siwaratri.
Dalam Siwaratrikalpa, salah satu teks
penting yang dijadikan rujukan tradisi perayaan Siwaratri, disebutkan kata
kunci tutur dan jagra.
Tutur, dalam kosa kata Jawa Kuno bermakna ‘ingat’. Makna ini
diselaraskan dengan makna kata jagra
yakni ‘sadar’. Logikanya, hanya orang yang sadar yang bisa ingat. Terlebih lagi
ingat akan hakikat jati diri (yan matutur
ikang atma ri jatinya).
“Ingat atau sadar itu makna
penting perayaan Siwaratri,” kata Bawa Adnyana.
Manusia memang kerap menghadapi
masalah dalam satu hal ini. Manusia diidentikkan sebagai makhluk sempurna,
memang, tapi juga tidak sempurna. Salah satu ketidaksempurnaannya, yakni sering
dan mudah lupa. Jangankan sesuatu yang sudah terjadi puluhan tahun silam,
terhadap peristiwa yang dilalui beberapa saat lalu pun manusia kerap kali
begitu susah untuk mengingatnya. Tidak hanya sering dan mudah lupa terhadap apa
yang dilakukannya, manusia juga teramat sering lupa dengan kesejatian dirinya.
Manusia dipersepsikan berada
dalam belenggu raga (obyek indra, nafsu), dinyatakan sebagai orang yang tidur (aturu atau tan atutur). Orang yang tidur adalah orang yang tidak sadar, lupa;
tidak sadar atau lupa pada hakikat jati dirinya. Dia penuh dengan kegelapan
hati, kehilangan kesadaran rohani. Orang yang tanpa kesadaran rohani disebut sawa. Sawa berarti ‘jazad’ yaitu simbol orang yang tidak memahami
kenyataan sejati, orang yang mati. Hidup tanpa kendali kesadaran rohani dapat
disamakan dengan orang dalam keadaan kesadaran sawa.
Untuk mengubah kesadaran sawa itulah, dilakukanlah pemujaan ke hadapan
Siwa dengan tetap terjaga (tutur)
dalam kesadaran pada hakikat jati diri. Karena Siwa adalah dewa pemaaf. Kata siwa dalam bahasa Sanskerta berarti
‘baik hati, pemaaf, membahagiakan dan memberi banyak harapan’.
Karena itu, perayaan Siwaratri hendaknya
tidak semata diwarnai dengan laku diri begadang semalaman. Apalagi jika sekadar
menjadikan perayaan Siwaratri sebagai alasan pembenar untuk bisa keluar malam berkeliling
di jalanan. (b.)
Teks: Ketut Jagra
COMMENTS