Senin (15/1) malam. Jarum jam menunjukkan tepat pukul 24.00 Wita. Suasana utama mandala Pura Dalem Desa Adat Kedonganan begitu tenang. Padahal, areal pura yang berada di pantai timur Kedonganan itu dipenuhi sekitar 600 orang yang terdiri atas siswa SMA 2 Kuta, para pemangku, pemuda serta krama Desa Adat Kedonganan. Mereka khusyuk mengikuti persembahyangan kedua kali dalam rangkaian Brata Siwa Ratri yang difasilitasi LPD Kedonganan dan Pasraman Citta Dharma Shanti Desa Adat Kedonganan.
“Ini persembahyangan kedua kali. Persembahyangan pertama sudah kami laksanakan sore tadi pukul 18.00 Wita sebagai pertanda dimulainya jagra,” kata Bendesa Adat Kedonganan, I Ketut Puja.
Persembahyangan ketiga dilaksanakan pukul 06.00 Wita. Ini sekaligus menutup rangkaian Brata Siwa Ratri.
Persembahyangan Siwa Ratri dipimpin Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda dari Griya Kutuh, Kuta. Brata Siwa Ratri yang mengambil tema “Melarapan Antuk Ngamargiang Brata Siwa Ratri, Ngiring Tincapang Sradha, Bhakti lan Kaweruhan ring Sajeroning Kahuripan” itu juga menghadirkan dua narasumber, yakni Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Badung, I Gede Rudia Adi Putra dan Ketua PHDI Kecamatan Kuta, I Wayan Suci Wijaya.
Ketua Pasraman Citta Dharma Shanti Desa Adat Kedonganan, I Ketut Madra mengungkapkan pelaksanaan Brata Siwa Ratri di Desa Adat Kedonganan menjadi salah satu program awal Pasraman Citta Dharma Shanti. Karena itu, pelaksanaan Brata Siwa Ratri ini juga sekaligus dimanfaatkan sebagai media sosialisasi keberadaan Pasraman Citta Dharma Shanti sebagai lembaga khusus pendidikan adat, budaya dan agama Hindu di Desa Adat Kedonganan.
“Pasraman ini akan menjadi pusat aktivitas budaya, pendidikan, spiritual, bahkan ekonomi kreatif bagi krama Desa Adat Kedonganan, khususnya anak-anak dan para pemuda,” kata Madra.
Berkaitan dengan perayaan Brata Siwa Ratri, Madra mengajak para peserta menyelami makna terdalam perayaan Siwa Ratri. Menurutnya, Siwa Ratri bukan sekadar begadang semalam suntuk. Kata Madra, jagraatau begadang semalam suntuk merupakan simbol keterjagaan atau kesadaran atas jati diri. Memuja Siwa saat Siwa Ratri merupakan perjuangan untuk menjadi manusia terjaga.
“Dalam konteks kekinian, jagra Siwa Ratri mengajak kita untuk terus berjuang melawan lupa. Kita sering lupa asal mula kita, kita juga kerap lupa jati diri kita. Melalui jagra, kita diajak untuk senantiasa sadar, terjaga,” kata Madra.
Agar bisa senantiasa terjaga atau sadar, manusia harus melawan kegelapan dalam diri dengan terus belajar. Untuk tujuan itu pula, Desa Adat Kedonganan mendirikan Pasraman Citta Dharma Shanti.
“Mari merawat kesadaran dan keterjagaan dalam mengarungi hidup dan kehidupan bersama Pasraman Citta Dharma Shanti,” tandas Madra. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI