I Ketut Rida dikenal sebagai
sastrawan Bali modern dengan karya-karya yang unik dan otentik. Selain
sastrawan, Rida juga seorang pendidik. Dia pensiunan guru Sekolah Dasar (SD).
Profesi guru ini pula yang mengantarkannya menjejaki dunia sastra.
“Gara-gara mengajar bahasa Bali tiang belajar menulis sastra Bali
modern,” kata Rida.
Rida bercerita, saat mengajar
bahasa Bali yang bisa menarik minat anak-anak belajar bahasa Bali, Rida pun
membuat satua (cerita). “Saat mengajarkan
kruna lingga, misalnya, saya buatkan
cerita yang berisi kruna lingga.
Anak-anak jadi senang,” kata Rida.
Cerpen-cerpen awal yang ditulis
Rida merupakan cerita yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran bahasa Bali di
kelas. “Kalau saya langsung mengajarkan bahasa Bali, anak-anak jadi bosan.
Jadi, saya memulainya dengan bercerita,” tutur Rida.
Cerita-cerita Rida pun, seperti
diakuinya, sebagian besar diangkat dari kisah nyata yang bersumber dari
pengalaman pribadi maupun pengalaman orang-orang yang pernah dikenalnya.
Layaknya karya sastra, Rida pun memberikan sentuhan imajinasi pada kisah-kisah
nyata itu agar lebih menarik dibaca. Boleh jadi karena itu pula, karya-karya
Rida sangat sarat dengan pesan-pesan khas seorang guru, sangat didaktis dan mementingkan
aspek etika-moral.
Atas dorongan teman-temannya
sesama guru, cerita-cerita yang ditulis untuk pembelajaran itu diolah lagi
menjadi cerpen kemudian dikirim ke Bali
Post. Ternyata cerpen itu dimuat dan disambut hangat para pembaca.
Teman-teman guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah yang mendorong dia
menulis lagi.
“Kesalahan saya, karena karya
saya dimuat di Bali Post, teman-teman
menyukai, jadi saya kecanduan menulis. Malah, kalau saya tak mengirim tulisan,
saya dihubungi Bali Post, diminta menulis
lagi. Itu menambah semangat saya menulis,” tutur Rida.
Tahun 1979, ada lomba menulis gancaran (prosa berbahasa Bali)
serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB). Rida menulis cerpen tentang
transmigrasi. Tak dinyana dia mendapat juara I. Tahun berikutnya, dia kembali
menjadi juara.
Langganan menjadi juara membuat
antropolog I Gusti Ngurah Bagus yang juga mantan gurunya tertarik. Cendekiawan
Bali yang tersohor itu mendorong Rida menulis novel berbahasa Bali. Tahun 1981,
dia memenuhi permintaan gurunya itu dengan menulis novel Sunari yang diikutkan dalam lomba. Novelnya itu pun terpilih
sebagai juara I.
“Karena diminta guru, saya tak
malu kalau tak memenuhi. Ternyata, karya itu mendapat juara juga,” beber Rida
dengan ajah sumringah.
Novel Sunari diterbitkan kembali tahun 2000 dan mengantarkan Rida meraih
hadiah sastra Rancage. Tahun 2014, Rida juga kembali diganjar penghargaan Widya
Pataka dari Gubernur Bali untuk buku kumpulan cerpen, Lawar Goak.
Sayangnya, sejak digerogoti sakit
sesak nafas akut, Rida hingga kini masih tak bisa menulis lagi. Padahal, kerinduannya
menulis begitu kuat dan berjuta ide melintas dalam pikirannya. “Sekarang saya
tak bisa lagi menulis. Membaca juga kadang-kadang tak bisa lama-lam, segera
lupa,” ujarnya. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar