Mahamisteri Bali itu kini bernama Gunung Agung. Semua orang kini terendam dalam tanda tanya besar menerka-nerka apa yang sedang terjadi den...
Mahamisteri
Bali itu kini bernama Gunung Agung. Semua orang kini terendam dalam tanda tanya
besar menerka-nerka apa yang sedang terjadi dengan gunung mahatinggi di pulau
alit ini. Dua setengah bulan sejak ditetapkan sebagai gunung api dengan status
“Awas”, Gunung Agung tidak pernah tuntas menjawab setiap tanya yang berkecamuk
di benak orang-orang, tak hanya di Bali, namun juga sejagat. Bahkan, segala
teori berkesadaran ilmiah tinggi pun tak lagi mampu menjelaskan perilaku Gunung
Agung kini.
Di hadapan
Gunung Agung, ilmu pengetahuan dan teknologi harus takluk. Kecenderungan
perilaku gunung api yang berujung pada terbentuknya teori tentang letusan
gunung api praktis tak berlaku untuk Gunung Agung. Tanda-tanda umum, semisal
gempa tremor menerus yang biasanya dalam hitungan jam akan diikuti letusan
besar, ternyata Gunung Agung menunjukkan perilaku berbeda. Meski sudah
mengeluarkan asap tebal, abu vulkanik, bahkan lahar hujan atau lahar dingin,
Gunung Agung masih adem-adem saja.
Tatkala rasio
tak mampu menjelaskan sebuah fenomena alam, orang pun mencoba mencari jawaban
melalui jalan lain. Berbagai penampakan awan di atas Gunung Agung yang
menyerupai aneka bentuk lantas dicoba diraba-raba, mencari makna di baliknya.
Segelintir lain mencoba memberi “hiburan gratis” dengan menampilkan diri
sebagai “pengendali” Gunung Agung karena menyebut diri bisa mengatur kapan
gunung ini akan meletus atau tidak.
Laku Gunung
Agung menyadarkan kita betapa misteri terbesar dalam hidup tiada lain adalah
alam. Manusia begitu kecil dan tak berdaya di hadapan alam. Betapa pun hebatnya
manusia, bahkan kala merasa mampu menaklukkan alam, sejatinya tidak ada
apa-apanya di hadapan alam.
Kesadaran itu
pula yang melandasi agama alam orang Bali, agama yang mendidik manusia Bali
senantiasa hidup selaras dengan alam. Manusia hanyalah penumpang di kapal besar
Ibu Alam. Betapa congkaknya manusia, sang penumpang, ketika berlagak hebat dan
ingin melawan sang pemilik kapal: Ibu Alam.
Gunung Agung
sebagai representasi kekuatan alam, kini tengah menjalankan tugasnya
menyelaraskan jagat Bali. Ini tugas mulia yang sudah tercatat dalam sejarah
panjang peradaban Bali. Gunung Agung tak pernah ingkar janji menjalankan tugas
suci menjaga keseimbangan jagat Bali. Dalam teks-teks tradisional Bali, begitu
banyak disebut Gunung Agung tak hanya sebagai hulu tetapi juga penjaga
kestabilan Pulau Bali.
Itu sebabnya,
rakyat Bali amat menyucikan Gunung Agung. Di pundak Gunung Agunglah berdiri
pura terbesar dan amat disucikan manusia Bali: Pura Besakih. Orang Bali percaya
dan merasakan betapa Gunung Agung tiada henti menganugerahkan kesejahteraan
untuk seluruh rakyat Bali.
Cara berpikir
inilah yang bisa menjelaskan laku kultural orang Bali menghadapi sang
Mahamisteri Gunung Agung. Ketika warga Desa Geriana menjemput lahar hujan atau
lahar dingin Gunung Agung baru-baru ini dengan mempersembahkan sesaji dan
tetabuhan baleganjur, itu cerminan ketaqwaan khas Bali yang dilandasi kesadaran
dan penghormatan kepada sang Mahamisteri Gunung Agung. Tradisi ini juga
dijemput dengan berbagai pantang larang yang bisa dijelaskan dengan rasio
seperti pantangan mengambil atau membawa pulang segala yang dibawa dalam aliran
lahar hujan atau lahar dingin Gunung Agung.
Memang,
perilaku Mahamisteri Gunung Agung tentu menerbitkan kegalauan, baik di kalangan
orang Bali yang mesti mengungsi berbulan-bulan dengan ketidakpastian hingga
para pelaku pariwisata yang dikejar mimpi buruk ambruknya bisnis turisme mereka
karena wisatawan batal ke Bali.
Kesabaran dan ketaqwaan
yang teguh memang menjadi kata kunci menghadapi sang Mahamisteri Gunung Agung. Toh,
selama ini Gunung Agung juga begitu sabar dan dengan ketulusan yang utuh
menjaga dan memberikan kesejahteraan bagi Bali beserta seluruh rakyatnya. Sayangnya,
kesabaran inilah yang acapkali lebih dulu redup dalam diri kita, manusia, sang
penumpang di kapal besar Ibu Alam. (b.)
COMMENTS