Meski diguncang berbagai bencana, pariwisata Bali tetap kencana.
Erupsi Gunung
Agung memang berdampak cukup parah bagi pariwisata Bali, bahkan lebih parah
dari Bom Bali 2002 dan 2005. Di mana-mana, di berbagai objek wisata sepi
pengunjung. Dampak serius mulai terasa terutama ketika dilakukan penutupan
bandara pada 27—29 November 2017. Namun, pariwisata Bali akan cepat kembali
pulih karena Bali memiliki soliditas internal dan eksternal yang kuat. Meski
diguncang bercana, pariwisata Bali tetap kencana.
Optimisme terhadap
pemulihan pariwisata Bali ini disampaikan pengamat pariwisata Unud, Nyoman
Darma Putra saat diskusi Refleksi Seabad Pariwisata Bali 1917—2017 di Taman
Nusa, Gianyar, 16 Desember 2017 lalu. Dalam iskusi yang dipandu budayawan
Taufik Rahzen itu juga turut tampil Oka Mahagangga (dosen Fakultas Pariwisata
Unud), budayawan Jean Couteau, dan Aspinal (Direktur Eksekutif Jaringan Kota
Pusaka).
Darma Putra
mengungkapkan pariwisata Bali lahir dari bencana, tumbuh di antara bencana,
tetapi selalu bertahan dalam kencana atau masa keemasan. Dia menyebut deretan
bencana itu di antaranya gempa 1917, dampak krisis global, perang Teluk,
serupsi Gunung Agung 1963, G30/S PKI 1965, gempa bumi Seririt 1976, teror bom
2002 dan 2005 yang membuat industri andalan ini terguncang.
Darma Putra
yang juga guru besar sastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud ini menyitir puisi
Radar Panca Dahana dalam sajak “Bali di Ufuk Teru-Menyan”, ‘walau terkoyak,
tetap kencana’ (1994). “Pariwisata Bali memiliki soliditas internal dan
eksternal yang menjadi pilar kuat pemulihan pascabencana. Pemulihan tak hanya
cepat, tetapi membuat pariwisata menjadi lebih kencana,” ujarnya.
Menurut Darma
Putra, pariwisata Bali lahir pascabencana Puputan Badung (1906) dan Puputan
Klungkung (1908). Tahun 1917, Bali diguncang gempa bumi hebat. Tahun 1920,
pariwisata Bali mulai menggeliat. Pada tahun 1926, Belanda mendirikan Bali
Hotel di bekas lokasi Puputan Badung.
Memasuki tahun
1930-an, beber Darma Putra, terjadi krisis global. Namun, pariwisata Bali jalan
terus. Tahun 1963, Hotel Bali Beach didirikan yang diikuti dengan
internasionalisasi Bandara Ngurah Rai Tuban. Pada tahun itu pula Gunung Agung
meletus yang disusul tragedi 65. “Tragedi 65 memang sedikit menghambat
pembangunan Indonesia, termasuk pembangunan kepariwisataan,” kata Darma Putra.
Namun, tahun
1970-an, dimulai rencana pembangunan besar-besaran pariwisata Bali melalui
proyek Nusa Dua. Tahun 1976, Bali kembali diguncang gempa hebat yang dikenal
dengan sebutan Gempa Seririt. Tahun 1983 Bali diguncang berita “Bali Belly”
disusul lagu “I’ve been to Bali too” pada tahun 1984. Namun, pariwisata Bali
tetap bersinar.
Guncangan
hebat tentu saja Bom Bali 2002 dan 2005. Namun, pariwisata Bali bisa pulih
kembali. Pemulihan terjadi dengan cepat yang juga dibantu masyarakat
internasional. “Semangat volunteer di Bali mengundag simpati dunia
internasional,” imbuh Darma Putra.
Diakui Darma
Putra, di mana-mana, pariwisata selalu rentan dengan bencana. Namun, pemulihan
pariwisata Bali makin lama makin cepat. Tak hanya pulih dengan cepat,
pariwisata Bali makin kencana, makin mencapai keemasannya.
Taufik Rahzen
menengarai kini terjadi pergeseran dari apa yang dulu didengung-dengungkan
sebagai ‘sadar wisata’ agar masyarakat sadar wisata, kini menjadi ‘wisata
sadar’. Wisata sadar dimaksudkan secara sadar bertanggung jawab, secara sadar
melihat keberlanjutan, dan secara sadar melihat pencarian diri dan pertemuan
dengan orang lain sebagai cara terbaik untuk melakukan komunikasi.
Dalam
perjalanan wisata sadar, orang tidak semata-mata menyenangkan diri tetapi untuk
menemukan diri. Orang melakukan perjalanan bukan untuk mengetahui sesuatu,
tetapi untuk mengalaminya. Orang berwisata bukan sebagai pelarian, tetapi
bagaimana bisa memperkaya wawasan dari destinasi yang dikunjunginya. Desa
wisata pun kian berkembang di mana wisatawan bisa tidur di rumah penduduk,
merasakan masak bersama dan beraktivitas di sawah atau kandang.
Masyarakat Bali, menurut Taufik Rahzen,
kebanyakan menerima erupsi Gunung Agung sebagai realitas hidup dan peristiwa
spiritual, yang menjadi berkah untuk masa depan. Kata dia, inilah momentum
terbaik untuk mentransformasi ‘sadar wisata’ menjadi ‘wisata sadar’ yang akan
menjadi sumbangan penting Bali untuk penguatan pariwisata Indonesia. (b.)
Teks: Sujaya
Foto: FB Darma Putra Nyoman
COMMENTS