Renovasi pura yang memiliki situs tua mesti dilakukan secara hati-hati dan melibatkan para ahli. Hal ini penting dilakukan agar tidak sampai menghancurkan situs-situs yang bernilai historis tinggi.
Renovasi pura
yang memiliki situs tua mesti dilakukan secara hati-hati dan melibatkan para
ahli. Hal ini penting dilakukan agar tidak sampai menghancurkan situs-situs
yang bernilai historis tinggi. Pandangan ini dikemukan sejumlah akademisi dalam
bidang arsitektur dan seni rupa.
Arsitek yang
juga guru besar Fakultas Teknik (FT) Unud,
I Putu Rumawan Salain menjelaskan, jika sebuah budaya fisik usianya lebih dari
50 tahun sudah bisa dijadikan cagar budaya, atau bangunan yang memiliki
keunikan tertentu atau sejarah layak dijadikan cagar budaya. Pasalnya,
situs-situs itu berkaitan dengan warisan masa lalu yang disebut tinggalan fisik
budaya, sehingga wajib dilestarikan.
“Misalkan,
bangunan mau direnovasi karena satu dan lain hal, apakah rusak, membahayakan dan sebagainya, bangunan itu
dianalisa dari segi akademik. Jika bangunan tersebut menjadi bagian cagar
budaya, jika direnovasi, harus memiliki persetujuan renovasi. Jika belum menjadi
cagar budaya dan ingin melakukan perbaikan harus dicarikan orang yang ahli di
bidangnya. Tidak perlu dibongkar, di sana ada aspek adaptif terhadap bahan dan
warna, sehingga harus dilihat dulu itu sebabnya. Jika dibongkar harus ada
rekamannya. sebagai dokumentasi,” ungkap Rumawan.
Rumawan
mencotohkan, Taman Ujung yang hancur gara-gara
gempa, tidak boleh dihancurkan begitu saja. Bangunan itu sama dengan warisan
arsitektur sehingga mesti dikonsultasikan dulu dengan Dinas Kebudayaan. Dinas Kebudayaan
kemudian mendaftarkan ke pihak Warisan Budaya, termasuk Pemerintah Provinsi.
“Perbaikan harus melibatkan ahli. Selain Disbud, ada Dinas PU yang berkaitan
dengan tata ruang, mau pun Dinas Purbakala. Intinya bangunan yang lebih dari 50
tahun itu masuk dalam cagar budaya, itu tidak boleh diubah,” tegas Rumawan.
Di pihak lain,
dosen seni rupa ISI Denpasar, I Wayan Sujana Suklu mengaku sedih dan
menyayangkan keadaan beberapa pura yang direnovasi mengabaikan keberadaan situs
yang ada di dalamanya. “Kami sangat sedih dan sungguh disayangkan, pembongkaran
atau perehaban pura tidak mempertimbangkan aspek kosmologinya. Asal baru karena
mendapat dana. Keadaan ini justru kita khawatirkan merusak jejak peradaban Bali
masa lampau,” ucap Suklu.
Pihaknya
berharap pemerintah segera bersikap agar keberadaan pura-pura dengan ornamen
kuno bisa diselamatkan. “Bukan hanya karena ada dana, begitu mudahnya pura direnovasi tanpa
mempertimbangkan ornamennya. Apakah sesuai dengan kosmologi atau tata ruang di
lingkungannya, sejarahnya, dan sebagainya?” tandasnya.
Hal senada
juga diungkapkan Made Bendi, seorang perupa yang juga dosen ISI Denpasar.
Menurutnya, perbaikan atau renovasi tempat suci, baik candi, pura dan
sebagainya boleh saja dilaksanakan. Hanya saja, jangan merusak estetika dan
historitas bangunan yang ada. “Lakukan konservasi dulu. Langkah prefentif
sangat penting. Setelah itu upaya merestorasi jalan yang paling baik, karena
setiap simbol pada ornament pura yang cukup tua sarat makna, taksu dan sebagainya yang harus dijaga
keasliannya,” kata Bendi. (b.)
Teks: Made Radea
COMMENTS