Berbagai
berita seputar peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Agung beberapa hari ini
benar-benar mengusik ketenangan pikiran I Putu Sudarta (66), warga Desa Tista,
Busungbiu, Buleleng. Kecemasan begitu terpancar dalam wajahnya. Penyebab
kecemasan tiada lain karena sebagian besar keluarganya tinggal di Dusun Badeg
Tengah, Desa Sebudi, Selat, Karangasem. Desa ini berjarak amat dekat dengan
Gunung Agung dan kerap disebut sebagai desa penjaga gunung tertinggi di Bali
itu. Saat Gunung Agung memuntahkan laharnya tahun 1963 silam, tanah leluhurnya
itu hancur tertimbun lahar dan abu panas. Kala itu keluarganya mengungsi ke
berbagai tempat di Bali, terutama di Tabanan dan Buleleng.
Kini pengalaman
buruk masa lalu itu kembali menyeruak dalam bayangan pikirannya. Bersama
saudara dan anak-anaknya yang tinggal di Denpasar, Sudarta berupaya membujuk
kerabatnya di Badeg Tengah agar mau mengungsi sesuai imbauan pemerintah.
Sudarta pun tiada henti berdoa agar keluarganya di Badeg maupun warga Bali
lainnya selamat.
![]() |
Pura Besakih dengan latar GunungAgung. (Foto: sujaya) |
Tak hanya
keselamatan keluarga yang membuncahkan kecemasan dalam diri Sudarta, melainkan
juga nasib pratima dan prasasti di
sejumlah pura di tanah leluhurnya itu. Itu sebabnya, dia ngotot meminta agar pratima dan prasasti di pura segera
diselamatkan ke tempat yang aman.
Kecemasan
serupa juga dirasakan Ni Nyoman Tirtha (62), seorang warga Desa Kusamba, Dawan,
Klungung. Meski jauh dari Gunung Agung, tapi Desa Kusamba dikategorikan sebagai
Kawasan Rawan Bencana (KRB) I, daerah yang diskenariokan dilalui aliran lahan
dingin dan hujan abu. Dan memang, saat letusan Gunung Agung tahun 1963 silam,
Tirtha masih ingat bagaimana desanya terendam gentuh (banjir) karena di bagian barat daya desa merupakan ujung
aliran Tukad Unda yang menjadi jalur aliran lahar dingin Gunung Agung. Selain
itu, Tirtha juga merasakan hujan abu pekat selama berbulan-bulan.
“Air dari
sungai itu sampai merendam rumah-rumah,” kenang Tirtha.
Itu sebabnya,
manakala Gunung Agung diberitakan kembali menunjukkan tanda-tanda akan meletus,
perasaan Tirtha menjadi tidak tentu. Untuk mengusir kecemasan yang membekap,
Tirtha pun memilih menghaturkan sesaji, berdoa memohon keselamatan ke hadapan
Sang Pencipta. Dalam kekhusyukan doanya, terdengar ucapan pendek, “Yaning Ratu Batara jagi mamargi, raris
mamargi Ratu. Becik-becik, alon-alon mamargi. Makasami panjak Iratu subakti.
Dumogi sami panjak Iratu rahayu”.
Bagi orang
Bali, Gunung Agung memang bukan sekadar sebuah gunung, namun memiliki makna
spiritual yang kuat. Dalam kosmologi Bali, Gunung Agung dianggap sebagai madyanikang bhuwana (tengah-tengah
dunia). Gunung Agung sering disebut sebagai simbol lingga atau purusa (maskulin), sedangkan Danau Batur
sebagai simbol yoni atau pradana
(feminin). Gunung Agung dan Danau Batur adalah sumber kesejahteraan masyarakat
Bali.
Dalam alam
pikir orang Bali, Gunung Agung merupakan cerminan Sang Pencipta yang mengayomi,
melindungi dan menjaga kehidupan orang Bali. Karena itu, orang Bali pun merasa
bertanggung jawab menjaga kesucian dan keutamaan Gunung Agung. Itu sebab, mereka yang
mendaki Gunung Agung diwajibkan mengikuti berbagai pantangan.
Manakala
Gunung Agung meletus, cara pandang tradisional Bali memaknainya sebagai
kehendak Sang Pencipta untuk menyucikan kembali alam Bali. Karena itu, orang
Bali merespons berbagai tanda-tanda bakal meletusnya Gunung Agung dengan
mempersembahkan berbagai sesaji dibalut doa-doa penuh khusyuk. Bukan untuk
menghentikan letusan, tetapi sebagai wujud ketaqwaan “menyambut” turunnya Ida
Batara. Itu pula yang bisa menjelaskan mengapa saat Gunung Agung memuntahkan
lahar tahun 1963, sekelompok lelaki dewasa dan pemangku di kaki gunung tertinggi di Bali itu justru sujud
bersembahyang. Mereka sedang menuntaskan tanggung jawab sebagai juru kunci yang
menjaga dan wujud bakti kepada Ida Batara Gunung Agung demi keselamatan dan
kesucian Bali. Laku diri yang mungkin sulit dipahami para pemuja rasio.
Teks:
Ketut Jagra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar