Masyarakat Bali Aga, khususnya di Kabupaten Buleleng yang meliputi Desa Sidatapa, Cempaga. Tigawasa, Pedawa, dan Banyuseri (SCTPB) memiliki kemiripan dengan masyarakat Ainu di Jepang. Cerita-cerita rakyat di antara kedua etnik menunjukkan perhatian kepada tiga aspek, yakni keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam.
Masyarakat
Bali Aga, khususnya di Kabupaten Buleleng yang meliputi Desa Sidatapa, Cempaga.
Tigawasa, Pedawa, dan Banyuseri (SCTPB) memiliki kemiripan dengan masyarakat
Ainu di Jepang. Cerita-cerita rakyat di antara kedua etnik menunjukkan
perhatian kepada tiga aspek, yakni keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Orang Bali menyebut kearifan
lokal ini sebagai Tri Hita Karana.
Keserupaan
antara masyarakat Bali Aga dan Ainu Jepang ini dibeberkan dosen Sastra Jepang,
Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Udayana (Unud), Ida Ayu Laksmita Sari
saat tampil sebagai pembicara dalam seminar seri sastra, sosial, dan budaya FIB
Unud, Jumat (4/8) lalu. Kandidat Doktor Ilmu Sastra Konsentrasi Wacana Sastra
ini memang sedang menyelesaikan penelitian disertasinya mengenai perbandingan
kearifan lokal pada cerita rakyat masyarakat Bali Aga dan Ainu Jepang.
Suku Ainu di Jepang. (foto: www.wikipedia.org) |
Menurut
Laksmita Sari, cerita rakyat dari kedua etnik melukiskan hubungan manusia
dengan Tuhan atau dewa-dewa melalui kisah-kisah yang menunjukkan kemahakuasaan
Tuhan atau dewa. Tuhan atau dewa senantiasa dilukiskan memiliki kekuatan dalam
menentukan nasib baik dan buruk manusia. Pesan moral dari cerita-cerita Bali Aga
dan Ainu Jepang mengenai Tuhan adalah agar manusia tetap patuh pada ajaran
Tuhan, seperti tidak boleh jahat, sombong, dan loba, agar tidak mendapat
kutukan. Agar terhindar dari celaka, masyarakat dalam cerita rakyat Ainu Jepang
tetap membuat upacara untuk dewa yang jahat.
“Bagaimanapun
kisahnya, cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang sama-sama memiliki pesan moral
agar manusia selalu menyembah dan membangun hubungan yang harmonis dengan Tuhan
atau dewa,” kata Laksmita Sari.
Cerita
Ainu dan Bali Aga juga melukiskan hubungan ideal antara manusia dengan manusia
melalui kisah-kisah tentang mata pencaharian dan relasi sosial di keluarga dan
masyarakat. Tokoh-tokoh yang jahat, suka menipu orang lain, akan mendapatkan
celaka dalam hidupnya, dan sebaliknya yang berbuat baik akan selalu mendapat
pertolongan.
“Hidup
bersama dan tolong menolong adalah pesan moral yang kuat dari cerita-cerita
Bali Aga dan Ainu Jepang,” imbuh Laksmita Sari.
Selain
itu, cerita Bali Aga dan Ainu Jepang banyak melukiskan pentingnya memupuk
kesadaran melestarikan alam melalui kisah-kisah tragedi, seperti di mana alam
dihancurkan di sana kehidupan manusia terancam. “Cerita dari kedua etnik
sama-sama memiliki pesan moral yang kuat bahwa keharmonisan akan terwujud jika
manusia menjaga dan menghormati alam,” ujar Laksmita Sari.
Lebih
jauh Laksmita Sari menjelaskan, kedua etnik memiliki beberapa persamaan, yaitu
sama-sama memiliki kekayaan cerita rakyat yang dilestarikan, sama-sama
merupakan penduduk asli (indigenous
people), memiliki sub-dialek sendiri, sama-sama bangga atas budaya sebagai dasar
identitas etnik, serta sama-sama membuka diri untuk pariwisata dengan
menggunakan keindahan alam dan keunikan budaya masing-masing sebagai daya tarik.
Masyarakat Bali Aga dikenal sebagai penduduk asli Bali.
Istilah Bali Aga memiliki arti ‘Bali Mula’, ‘Bali Kuna’, dan ‘Bali Pegunungan’.
Disebutkan sebagai Bali Pegunungan karena mereka umumnya tinggal di daerah
pegunungan, berbeda dengan masyarakat Bali ‘biasa’ yang tinggal di dataran
(rendah), biasa disebut dengan Bali Dataran atau Bali modern.
“Secara umum, masyarakat Bali Aga dianggap sudah ada
di Bali sebelum kehadiran masyarakat Bali Majapahit, yang migrasi ke Bali
pascakejatuhan kerajaan Hindu Nusantara itu abad ke-14. Masyarakat Bali Aga
tinggal di berbagai daerah, seperti di Bali Utara, Bali Timur, dan juga di
bagian Utara Bali Selatan,” beber Laksmita Sari.
![]() |
Tari rejang Desa Pedawa (sumber: www.youtube.com) |
Masyarakat Ainu secara dominan menempati wilayah utara
Jepang, yaitu di Pulau Hokkaidō dan di daerah perbatasan Jepang dan Rusia. Mereka juga tersebar di berbagai daerah di
Jepang. Jumlah penduduk Ainu tidak pasti, secara resmi pemerintah menyebutkan
sekitar 25,000 orang, sedangkan angka tidak resmi memperkirakan penduduk Ainu
mencapai 200,000 orang. “Jika yang terakhir dipakai patokan, berarti penduduk
Ainu itu sekitar 0,01% dari total penduduk Jepang berdasarkan sensus penduduk
2010 adalah sekitar 128 juta,” ungkap Laksmita Sari.
Kata ‘ainu’ berasal dari kosa kata bahasa Ainu yang
berarti ‘manusia’. Keberadaan mereka, kata Laksmita Sari, sempat “dihapuskan”
oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1899 pemerintah Jepang saat itu mengeluarkan
undang-undang yang menyatakan bahwa suku Ainu adalah “bekas pribumi” di mana
masyarakat Ainu dipaksa untuk berasimilasi dengan penduduk Jepang pendatang,
yang menyebut dirinya penduduk Yamato. Dalam asimilasi itu, khususnya zaman
Meiji, mereka diwajibkan menggunakan nama Jepang, maninggalkan nama khas Ainu,
dilarang menggunakan bahasa Ainu, dilarang melakukan pekerjaan tradisional seperti
bebruru dan memancing.
“Pada tanggal 6 Juni 2008 parlemen Jepang mengesahkan
undang-undang yang mengakui bahwa masyarakat Ainu adalah masyarakat pribumi
dengan bahasa, kepercayaan, dan kebudayaan yang berbeda dengan penduduk
pendatang Jepang, Yamato,” tandas Laksmita Sari. (b.)
COMMENTS