Pendongeng MadeTaro kembali menerbitkan buku dongeng, Mendongeng Lima Menit. Berisi 75 dongeng pendek dari Bali dan berbagai negara. Inilah dongeng-dongeng paket hemat ala Made Taro.
Oleh: I MADE SUJAYA
![]() |
Sampul buku "Mendongeng Lima Menit" |
Upaya
menghidupkan kembali tradisi mendongeng tidak saja menghadapi kendala rendahnya
minat baca, melainkan juga kemalasan membaca teks panjang. Dunia digital yang
serbainstan dan cepat menjadi pemicu utama. Kebiasaan membaca berita media
daring yang serbaringkas membuat banyak orang tidak tertarik lagi menyelami
kenikmatan membaca teks-teks panjang.
Dalam ranah
lisan pun, orang enggan mendengar orang bercerita berlama-lama. Betapa pun
menariknya sebuah cerita, begitu disampaikan dalam waktu yang lama, orang
akhirnya tidak betah juga. Anak-anak kini lebih terpikat dengan pencerita yang
berkisah secara singkat, padat, dan akurat.
Fenomena ini
tampaknya dipahami betul pendongeng Made Taro. Setidaknya kesadaran ini
tercermin dalam buku Medongeng Lima Menit
yang terbit Februari 2017. Dongeng-dongeng yang awalnya dimuat di tabloid Tokoh dan Lintang ini seluruhnya ditulis sepanjang 1,5 halaman. Kalau
dibacakan, menurut Made Taro dalam kata pengantar, dongeng ini hanya butuh
waktu sekitar lima menit. Inilah dongeng-dongeng paket hemat ala Made Taro. Cara
lain Made Taro melawan kemalasan membaca teks panjang.
Made Taro
menyebut ‘mendongeng lima menit’ ini sebagai terobosan, model baru story telling. ‘Mendongeng lima menit’
dapat dilakukan secara lisan maupun dalam mewujud dalam kegiatan membaca maupun
membacakan cerita untuk orang lain. Terobosan ini, menurut Made Taro,
menyebabkan tradisi mendongeng tetap bisa dilaksanakan sebagai kegiatan
komunikatif yang akrab, segar dan berisi di satu sisi, dan tidak terlampau
menyita waktu anak-anak di sisi lain.
‘Mendongeng
lima menit’ menghadapi tantangan menjaga keutuhan cerita. Karena itu, kemahiran
sang pencerita mengolah cerita menjadi kunci. Dalam dongeng yang pendek,
pencerita bukan hanya menyampaikan cerita secara singkat juga menjaga nafas dan
karakteristik cerita.
Made Taro pun
menyadari tantangan ini. Itu sebabnya, dalam kata pengantar, mantan redaktur
cerpen di Bali Post Minggu ini
menegaskan dongeng-dongeng dalam bukunya bukanlah sinopsis. Dia menyebut
‘mendongeng lima menit’ tetap mempertahankan keutuhan kisah, memelihara alur,
karakter, konflik, problematika, suasana, tema, dan solusi.
Memang,
dongeng-dongeng dalam buku ini memperlihatkan kerja keras penulisnya untuk
menjaga cerita tetap utuh, tetapi teks tidak menjadi panjang. Made Taro
menunjukkan kepiawainnya memilih intisari cerita tanpa kehilangan keindahannya
sebagai dongeng. Dialog-dialog sarat pesan masih terselip dalam setiap cerita.
Citra dan suasana cerita juga masih bisa dirasakan pembaca.
Dongeng “Ayam
Petelur” misalnya, sesungguhnya merupakan cerita rakyat Bali yang sarat. Di
tangan Made Taro, dongeng ini menjadi dongeng yang ringkas tetapi padat.
Intisari cerita dan dialog-dialog pembangun suasana tetap bisa dijaga. Begitu
juga dongeng “Guru dan Serigala” dari Cina yang begitu singkat, tetapi tetap
mampu menyampaikan pesan moral.
Dongeng-dongeng
dalam buku ini berasal dari Bali serta daerah lainnya di Indonesia, bahkan juga
dari berbagai negara. Karena itu, para pembaca buku ini perlu juga memahami
konteks budaya dari dongeng-dongeng itu. Misalnya, dongeng “Dongeng Kami Habis”
dari Afrika. Bagi anak-anak Indonesia, dongeng ini tidak bisa serta merta
dipahami karena konteks budaya yang berbeda.
Namun, buku Mendongeng Lima Menit sungguh menarik
dan layak dimiliki. Buku ini amat membantu para orangtua yang ingin mendongeng
untuk anak-anaknya tanpa membuat anak-anak bosan karena ceritanya yang panjang.
(b.)
____________________________________
Penyunting: NYOMAN SAMBA
COMMENTS