Dahsyatnya
budaya populer yang dibawa arus globalisasi potensial menyapu kebudayaan lokal
yang diwariskan leluhur. Hal ini sudah lama disadari Gubernur Bali, IB Mantra.
Kesadaran itu diwujudkan Mantra melalui kebijakan yang dilandasi politik
kebudayaan yang kokoh.
Menurut
budayawan I Made Sudira, Mantra sadar kebudayaan itu bersifat dinamis dan
kemungkinan berubah bukanlah hal yang mustahil. Namun, agar warisan leluhur
tidak disapu budaya luar, orang Bali harus paham ide sentral budaya Bali. Bila
ide sentral dipahami dan diyakini, meskipun bentuk luar budaya berubah, tidak
akan mengubah ide sentral dan inti budayanya.
Penari Bali sedang menunjukkan kebolehannya dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). (balisaja.com/sujaya) |
“Untuk itu,
yang menurut Pak Mantra, kita harus melakukan reinterpretasi, reintegrasi, dan
adaptasi terhadap perubahan, sehingga tidak melemahkan tradisi, justru
memperkuat ide sentralnya,” kata Sudira saat berbicara dalam seminar nasional
“Multikulturalisme dan Budaya Populer” yang diselenggarakan Program Studi S3
Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Kamis (15/6).
Menurut
Sudira, ide sentral budaya Bali, tiada lain rta,
ketertiban masyarakat dan alam semesta. Nilai dasarnya yakni sathya atau satunya ucapan, pikiran, dan
tindakan. Berikutnya, yadnya, yakni
keikhlasan untuk berkorban yang merupakan pemurnian ego. Berikutnya tapas, yakni pengendalian diri berdasar
ajaran agama Hindu dan kearifan lokal yang terus digali, dikembangkan dan
diwariskan pada generasi muda.
“Semua yang
dipaparkan Pak Mantra itu, khususnya harga diri, tidak akan surut bila tenaga
dan semangat yang mendorongnya tetap hidup. Taksu
dan jengah adalah energi dimaksud,”
jelas kolomnis rubrik “Obrolan di Bale Banjar” di Bali Post Minggu ini.
Taksu, dimaknai Mantra, sebagai inner power yang berbasis spiritual dan
religiusitas, yang mengilhami seniman dan penekun budaya, yang juga mengalir ke
hasil karyanya. Jengah, dihayati
sebagai semangat bersaing secara total berdasarkan rajasika dan wattsika
yang melahirkan dinamika untuk menghasilkan karya bermutu.
“Harga diri
yang digerakkan taksu dan rasa jengah inilah yang membuat budaya dan
tradisi Bali mampu bertahan hingga sekarang, meski mendapat gempuran sejak
pariwisata berkembang di pulau ini,” kata Sudira.
Bila Fikri
Suadu mengusulkan bangsa ini kembali kepada Pancasila untuk menghadapi dentuman
globalisasi yang membuat seluruh komponen bangsa mengalami sindrom
psikokapitalisme, menurut Sudira, sebaiknya masyarakat Bali merevitalisasi
gagasan IB Mantra untuk menghadapi penjajahan budaya. Konsep harga diri Mantra
tepat dimasukkan dalam gagasan Revolusi Mental yang dilontarkan Presiden Joko
Widodo.
Meski meraih
magister (1954) dan doktor (1957) sastranya di Universitas Visva Bharati,
Shantiniketan, Benggala Barat, India, Mantra tidak menjadi keindia-indiaan saat
kembali pulang ke Bali. Malah, saat menjabat Rektor Unud (1964—1968), Mantra
menjadikan kebudayaan, khususnya budaya Bali, sebagai ciri utama pola ilmiah
pokok lembaga pendidikan tinggi negerti tertua di Bali itu.
Mantra, kata
Sudira, mengembangan strategi kebudayaan yang tepat dalam mewujudkan
kesejahteraan Bali sekaligus memperkokohnya agar bisa berkembang dinamis. Itu
sebabnya, Mantra menggagas Maha Widya Bhawana Institut Hindu Dharma yang kini
menjadi Unhi. Mantra juga ikut sebagai salah seorang pendiri Parisada Hindu
Dharma Bali (kini menjadi PHDI) yang digodok di Fakultas Sastra Unud. Agama
Hindu merupakan spirit atau roh sekaligus sumber inspirasi kebudayaan Bali.
Untuk
menguatkan aspek seni sebagai penopang penting kebudayaan Bali, Mantra mendirikan
Akademi Seni Tari Indonesia yang kini menjadi Institut Seni Indonesia. Untuk
memasyarakatkan kesenian Bali, Mantra membangun Werdhi Budaya (Art Centre).
Tak hanya itu, Mantra juga memahami betul
pentingnya aspek ekonomi dalam memperkokoh kebudayaan Bali. Karena itu,
dibangun Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang bernaung di bawah desa adat untuk
menunjang pendanaan Badan Usaha Desa Adat (BUDA). (b.)
Teks dan Foto: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar