Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Bali Jani · 16 Jun 2017 13:17 WITA ·

Taksu dan Jengah, Energi Pemertahanan Budaya Bali


					Taksu dan Jengah, Energi Pemertahanan Budaya Bali Perbesar

Dahsyatnya budaya populer yang dibawa arus globalisasi potensial menyapu kebudayaan lokal yang diwariskan leluhur. Hal ini sudah lama disadari Gubernur Bali, IB Mantra. Kesadaran itu diwujudkan Mantra melalui kebijakan yang dilandasi politik kebudayaan yang kokoh.
Menurut budayawan I Made Sudira, Mantra sadar kebudayaan itu bersifat dinamis dan kemungkinan berubah bukanlah hal yang mustahil. Namun, agar warisan leluhur tidak disapu budaya luar, orang Bali harus paham ide sentral budaya Bali. Bila ide sentral dipahami dan diyakini, meskipun bentuk luar budaya berubah, tidak akan mengubah ide sentral dan inti budayanya.

Penari Bali sedang menunjukkan kebolehannya dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). (balisaja.com/sujaya)
“Untuk itu, yang menurut Pak Mantra, kita harus melakukan reinterpretasi, reintegrasi, dan adaptasi terhadap perubahan, sehingga tidak melemahkan tradisi, justru memperkuat ide sentralnya,” kata Sudira saat berbicara dalam seminar nasional “Multikulturalisme dan Budaya Populer” yang diselenggarakan Program Studi S3 Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Kamis (15/6).
Menurut Sudira, ide sentral budaya Bali, tiada lain rta, ketertiban masyarakat dan alam semesta. Nilai dasarnya yakni sathya atau satunya ucapan, pikiran, dan tindakan. Berikutnya, yadnya, yakni keikhlasan untuk berkorban yang merupakan pemurnian ego. Berikutnya tapas, yakni pengendalian diri berdasar ajaran agama Hindu dan kearifan lokal yang terus digali, dikembangkan dan diwariskan pada generasi muda.
“Semua yang dipaparkan Pak Mantra itu, khususnya harga diri, tidak akan surut bila tenaga dan semangat yang mendorongnya tetap hidup. Taksudan jengah adalah energi dimaksud,” jelas kolomnis rubrik “Obrolan di Bale Banjar” di Bali Post Minggu ini.
Taksu, dimaknai Mantra, sebagai inner power yang berbasis spiritual dan religiusitas, yang mengilhami seniman dan penekun budaya, yang juga mengalir ke hasil karyanya. Jengah, dihayati sebagai semangat bersaing secara total berdasarkan rajasika dan wattsikayang melahirkan dinamika untuk menghasilkan karya bermutu.
“Harga diri yang digerakkan taksu dan rasa jengah inilah yang membuat budaya dan tradisi Bali mampu bertahan hingga sekarang, meski mendapat gempuran sejak pariwisata berkembang di pulau ini,” kata Sudira.
Bila Fikri Suadu mengusulkan bangsa ini kembali kepada Pancasila untuk menghadapi dentuman globalisasi yang membuat seluruh komponen bangsa mengalami sindrom psikokapitalisme, menurut Sudira, sebaiknya masyarakat Bali merevitalisasi gagasan IB Mantra untuk menghadapi penjajahan budaya. Konsep harga diri Mantra tepat dimasukkan dalam gagasan Revolusi Mental yang dilontarkan Presiden Joko Widodo.
Meski meraih magister (1954) dan doktor (1957) sastranya di Universitas Visva Bharati, Shantiniketan, Benggala Barat, India, Mantra tidak menjadi keindia-indiaan saat kembali pulang ke Bali. Malah, saat menjabat Rektor Unud (1964—1968), Mantra menjadikan kebudayaan, khususnya budaya Bali, sebagai ciri utama pola ilmiah pokok lembaga pendidikan tinggi negerti tertua di Bali itu.
Mantra, kata Sudira, mengembangan strategi kebudayaan yang tepat dalam mewujudkan kesejahteraan Bali sekaligus memperkokohnya agar bisa berkembang dinamis. Itu sebabnya, Mantra menggagas Maha Widya Bhawana Institut Hindu Dharma yang kini menjadi Unhi. Mantra juga ikut sebagai salah seorang pendiri Parisada Hindu Dharma Bali (kini menjadi PHDI) yang digodok di Fakultas Sastra Unud. Agama Hindu merupakan spirit atau roh sekaligus sumber inspirasi kebudayaan Bali.
Untuk menguatkan aspek seni sebagai penopang penting kebudayaan Bali, Mantra mendirikan Akademi Seni Tari Indonesia yang kini menjadi Institut Seni Indonesia. Untuk memasyarakatkan kesenian Bali, Mantra membangun Werdhi Budaya (Art Centre).

Tak hanya itu, Mantra juga memahami betul pentingnya aspek ekonomi dalam memperkokoh kebudayaan Bali. Karena itu, dibangun Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang bernaung di bawah desa adat untuk menunjang pendanaan Badan Usaha Desa Adat (BUDA). (b.)

Teks dan Foto: Sujaya
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI
Artikel ini telah dibaca 57 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat

26 Februari 2024 - 15:18 WITA

Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta

23 Februari 2024 - 23:22 WITA

SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali

17 Februari 2024 - 18:57 WITA

Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak

2 Januari 2024 - 22:14 WITA

Lewat Film “Home”, Sinematografer Bali Raih Nominasi Emmy Awards

15 Desember 2023 - 22:14 WITA

Gairah Berbahasa Bali Mesti Diikuti Pemahaman Mengenai “Anggah-ungguh Basa”

10 Desember 2023 - 22:32 WITA

Trending di Bali Jani