Bali itu kaya. Sebagian kekayaan itu tersimpan di Bali Utara.
Bali itu kaya. Sebagian
kekayaan itu tersimpan di Bali Utara. Tengok saja perairan Bali Utara memiliki
luas ± 3.850,03 km², meliputi perairan pantai sepanjang Kabupaten Buleleng.
Potensi lestari sumberdaya ikan diperkirakan 24.606,0 ton/tahun. Selain dalam
bidang perikanan, pesisir Bali Utara juga memiliki potensi besar dalam bidang
pariwisata, seperti di kawasan Lovina dan kawasan Pemuteran.
Selain potensi kelautan, pesisir Bali Utara juga memegang peranan
penting dalam sejarah Bali. Dahulu, di pesisir Bali Utara terdapat dermaga
terbesar di Pulau Bali yang dikenal sebagai Pelabuhan Buleleng. Awalnya
merupakan sebuah pelabuhan alam yang dalam catatan sejarah merupakan pintu
masuk pergaulan global bagi masyarakat Bali. Pada sekitar abad ke-17 dan juga
pada masa Hindia Belanda berikutnya, pelabuhan ini merupakan pintu masuk utama
ke Pulau Dewata. Masyarakat sekitar pesisir Bali Utara ini mengalami pergaulan
lintas kultur sekaligus terjadi berbagai akulturasi, yang jejak dan peninggalannya
hingga kini masih dapat ditemukan dan dipelajari.
![]() |
Putu Gede Suwitha |
Pada tahun 1846, Belanda mulai menduduki bagian Bali utara,
kemudian Buleleng sempat menjadi ibu kota Kepulauan Sunda Kecil dan ibu kota
Bali sampai tahun 1958. Di Buleleng tercatat ada berbagai bangunan historis
yang mencerminkan dinamika panjang dari peradaban pesisir Bali Utara, semisal
adanya pura-pura tertentu seperti Gambur Anglangyang, merefleksikan pergaulan
global sedini itu; juga bangunan-bangunan klenteng; Pusat Dokumentasi Lontar
yang tersohor, Gedong Kirtya.
Buleleng juga mencatat dinamika kesenian yang marak sedini itu
bahkan hingga sekarang ini, seperti Gong Kebyar, Topeng Prembon, Janger
Menyali, dan Wayang Wong Tejakula yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan
Budaya Dunia Tidak Benda. Di Buleleng terdapat juga desa-desa Bali Aga atau
Bali Mula, seperti Desa Sidatapa, Desa Cempaga, Desa Tigawasa, Desa Pedawa dan
Desa Banyusri.
Sejarawan Unud, I Putu Gede Suwitha mengakui Buleleng memang kaya,
baik secara geografis, sosial, dan budaya. “Untuk merevitalisasi kekayaan itu,
tugas kita semua,” kata Suwitha dalam diskusi mengenai peradaban pesisir Bali
Utara di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Rabu (31/5).
Salah seorang peserta diskusi, Agung Yudha menilai Buleleng
memiliki ciri akulturasi budayanya kuat sekali, dalam hal kesenian, makanan,
arsitektur. Hal ini, kata dia, menjadi modal kuat bagi Buleleng untuk
mengembangkan diri dalam aspek kebudayaan, baik menyangkut kesenian dan
kuliner.
Peserta lain, Alit Widusaka juga mengakui kekayaan kultural
Buleleng. Namun, belakangan kekayaan kultural sebagai jati diri Buleleng
seperti tersisihkan oleh pengaruh Bali Selatan. “Misalnya, di Buleleng ada gong pacek, di Selatan ada gong gantung. Saat PKB, ada lomba gong
kebyar, sekaa di Buleleng ikut-ikutan
gaya Selatan karena pembinanya dari ISI Denpasar yang nota bene dari Selatan,”
kata Alit Widusaka.
Karena itu, Alit Widusaka menilai harus ada upaya sungguh-sungguh
untuk menjaga segala keunikan kultural Buleleng. Keragaman yang ditunjukkan
oleh kekayaan budaya Buleleng yang berbeda dengan Bali Selatan merupakan
cerminan kekayaan budaya Bali.
Suwitha juga sepakat untuk menjaga keunikan kultural Bali Utara.
Mengenai akulturasi budaya yang kuat di Buleleng, menurut Suiwtha, hal itu merupakan
bagian dari kebudayaan bukan hanya Bali tapi Indonesia. “Kita punya akar budaya
Hindu Budaya yang ribuan tahun sehingga akarnya kuat. Di masa lalu eksperimen
akulturasi budaya biasa dilakukan. Sekarang mungkin memicu persoalan,” kata
Suwitha.
Infrastruktur
Namun, menurut Suwitha, Buleleng harus dibangun secara
sungguh-sungguh agar maju seperti halnya Bali Selatan. Dalam pandangan Suwitha,
ada tiga hal yang mesti dibangun untuk memajukan Bali Utara, yakni bandara,
pelabuhan dan jalan raya. Karena, rencana pembangunan bandaradi Buleleng,
dinilainya sebagai langkah tepat.
“Bali selatan maju karena Bandara Tuban,” kata Suwitha.
Namun, Suwitha mengingatkan agar rencana pembangunan bandara di
Buleleng dibangun dengan sungguh-sungguh. Menurutnya, pembangunan bandara di
Buleleng bukan sekadar untuk memajukan Bali Utara, tetapi juga membagi beban di
Bali Selatan. Kalau bandara dibangun di Bali Utara, gula akan tersebar, tidak
hanya terkonsentrasi di Bali Selatan.
“Pembangunan bandara di Buleleng itu dalam kerangka pembangunan Bali
yang dilihat secara keseluruhan, integratif. Membangun Bali lebih maksimal,
optimal, adil,” ujar lelaki yang berasal dari Ungasan, Badung Selatan ini.
Namun, pembangunan bandara di Buleleng dikritik sejumlah peserta
diskusi. Agung Yudha khawatir, pembangunan infrastruktur di Buleleng seperti
Bali Selatan jangan-jangan bukan membagi beban Bali Selatan tapi malah
menyediakan tempat baru. Akhirnya, beban migrasi tetap menjadi masalah bagi
Bali.
Warga Buleleng, Nyoman Suka Ardiyasa juga kurang sepakat dengan
pembangunan bandara di Buleleng. “Kalau bandara dibangun di Buleleng, bagaimana
peradaban di sekitar bandara?” kata Suka Ardiyasa yang dikenal sebagai aktivis
bahasa Bali ini.
Namun, Suwitha tetap meyakini pembangunan bandara, pelabuhan dan
jalan raya sebagai pendorong kemajuan suatu daerah. Mengenai dampak migrasi
yang ditimbulkan, Suwitha berpendapat hal itu sebetulnya bukan hanya urusan
pemerintah Bali, tapi urusan nasional. Persoalan sesungguhnya, kata dia,
bagaimana menyelesaikan masalah kemiskinan di provinsi asal, bukan hanya
tanggung jawab Bali. (b.)
KOMENTAR