Menjadi Rektor
Universitas Udayana (Unud) tentu merupakan gengsi tersendiri, terutama bagi
dosen di universitas negeri tertua di Bali itu. Namun, jabatan rektor itu tetaplah
tugas tambahan. Menjadi dosenlah sejatinya sebagai tugas utama. Boleh jadi,
karena itu, Rektor Unud, Ketut Suastika saat membuka lokakarya penulisan
artikel jurnal internasional di Kampus Nias, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud,
Denpasar, Kamis (23/3), berseloroh menyebut dirinya seorang dosen yang nyambi
sebagai rektor.
Namun,
Suastika tentu tidak sedang menyatakan kegiatannya sebagai Rektor Unud sekadar
sebagai sambilan. Dia sedang memotivasi dosen dan mahasiswa di lembaga yang
dipimpinnya agar tidak menjadikan jabatan atau tugas-tugas tambahan lainnya
sebagai alasan untuk tidak meneliti dan menulis. Jangan pula meneliti dan
menulis karena keinginan naik pangkat atau mendapatkan remunerasi.
![]() |
K. Suastika (Repro: www.fib.unud.ac.id) |
“Jadikan riset
itu sebagai bagian dari hidup,” kata Suastika.
Untuk
memotivasi dosen-dosennya, Suastika yang juga tampil sebagai narasumber dalam
lokakarya yang diselenggarakan Program Studi (Prodi) S3 Kajian Budaya itu pun
bersedia bertahan mengikuti acara sampai akhir. Dia tekun menyimak paparan
narasumber yang tampil, yakni Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Sadjuga serta guru besar
sastra Indonesia Unud, I Nyoman Darma Putra.
Saat berbicara
sebagai narasumber, Sustika bercerita pengalamannya saat mulai menjadi profesor
tahun 2002. Suastika mengaku sempat malu menjadi profesor. Pasalnya, publikasi
karya tulisnya tidak banyak, padahal profesor di luar negeri memiliki publikasi
puluhan bahkan ratusan.
Karena itu,
ahli penyakit diabetes ini menggenjot publikasi ilmiahnya. Dia suntuk melakukan
studi epidemiologi yang berkaitan dengan diabetes dan endokrin di Bali. Hasil
penelitiannya dipublikasikan di sejumlah jurnal internasional bereputasi. Beberapa
artikelnya begitu mudah lolos, tapi ada juga yang ditolak. Tapi, Suastika tidak
putus asa. Kerja kerasnya pun berbuah. Temuannya seputar faktor penyebab
diabetes diapresiasi para peneliti dan ahli diabetes dunia. Suastika pun
diundang berbicara ke berbagai negara. Dia mendapat manfaat besar dari
publikasi itu. Selain reputasi dalam bidang ilmu yang ditekuni, Suastika juga
lebih mudah mendapatkan sponsor untuk membiayai penelitiannya.
“Kalau kita
rajin meneliti dan publikasi, pada akhirnya, reputasi dan pendapatan itu akan
mengikuti. Jadi, jangan di awal sudah mengeluh tidak ada dana, tetapi tidak mau
bekerja keras,” kata Suastika.
Kini, imbuh
Suastika, Unud sudah menaikkan anggaran penelitiannya menjadi 15% dari
penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sebelumnya anggaran penelitian Unud hanya
10%, bahkan pernah 5%. Namun, peningkatan anggaran itu belum diikuti dengan
peningkatan penelitian para dosen Unud. Peringkat QS Star Unud secara umum
memang naik dari bintang 1 menjadi bintang 3. Namun, kalau dicermati, peringkat
dalam bidang penelitian masih tetap bintang 1. Melalui berbagai upaya, dia
yakin penelitian dosen-dosen Unud akan meningkat secara kuantitas dan kualitas.
Suastika tak
hanya mengimbau dosen-dosennya meneliti dan menulis, tapi memberi contoh.
Suastika pun menunjukkan diri bukan saja seorang administrator lembaga
pendidikan tinggi, juga seorang peneliti dan akademisi yang sungguh-sungguh. (b.)
Teks: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar