Masih akan adakah suara dan aksi pelecehan terhadap
pelaksanaan Nyepi tahun ini? Pertanyaan ini belakangan merebak di kalangan
orang Bali di media sosial. Pengalaman munculnya kasus pelecehan terhadap hari
raya Nyepi beberapa tahun terakhir menjadi pemicu munculnya pertanyaan ini.
Memang, tatkala ritual Nyepi di Bali mulai diapresiasi dunia
karena kontribusinya yang besar dalam menghemat energi dan menurunkan polusi,
kritik terhadap tradisi unik dan otentik masyarakat Bali itu justru semakin
sering mengemuka. Tak hanya kritik kepada orang Hindu (Bali) yang tak
sepenuhnya menghayati Nyepi, kritik juga mulai mempersoalkan berbagai larangan
selama Nyepi yang juga dikenakan kepada orang non-Hindu yang kebetulan tinggal
di Bali. Kritik dan pernyataan keberatan secara terbuka mulai tampak beberapa
tahun terakhir, terutama sejak berkembangnya penetrasi internet media sosial.
![]() |
Suasana Nyepi di salah satu desa di Bali beberapa tahun lalu. (Foto: sujaya) |
Suara-suara keberatan itu, karena disampaikan terbuka dan
vulgar, tentu saja mengundang reaksi keras umat Hindu di Bali yang merasa
sebagai pemilik dan penjaga tradisi Nyepi. Bahkan, sempat ada aksi sekelompok
umat Hindu di Bali yang melaporkan salah seorang pemilik akun facebook yang dinilai melecehkan
pelaksanaan Nyepi.
Memang tidak mudah bagi orang luar Bali atau bukan Hindu
untuk memahami tradisi keagamaan dan kultural masyarakat Bali yang begitu
kompleks, rumit, dan penuh simbol. Bahkan, orang-orang Bali sendiri tidak semua
memahaminya. Namun, jika saja kesadaran untuk melakukan dialog dan penghayatan
lintas budaya tumbuh baik di tengah-tengah bangsa ini, tentu persoalan semacam
ini tak akan terjadi. Bangsa ini baru sebatas bersepakat ucap untuk hidup
bersama dalam keberagaman, tetapi miskin kesediaan dan kesadaran untuk saling
menghargai dan menghayati.
Keberatan terhadap larangan bepergian dan beraktivitas saat
Nyepi bagi setiap orang yang tinggal di Bali, termasuk non-Hindu, tampaknya
lebih dilandasi pertimbangan formalistik keagamaan. Nyepi dipahami sekadar
sebagai ritual keagamaan orang Hindu dan karena itu tak layak diberlakukan
kepada orang non-Hindu.
Padahal, Nyepi dalam konteks Bali bukan semata praktik
keagamaan orang Hindu, tetapi praktik tradisi orang Bali yang diwarisi sejak
berabad-abad silam, jauh sebelum Bali dengan kesadaran penuh bersepakat turut
memperkuat sebuah bangunan bangsa dan negara bernama Republik Indonesia. Jauh
sebelum agama Hindu diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Nyepi
sejatinya tradisi khas gumi Bali yang
berakar panjang. Di masa lalu, Nyepi menjelma sebagai tradisi lokal yang begitu
beragam tergantung kondisi masing-masing desa adat. Jejaknya masih bisa dilacak
kini karena banyak di antara tradisi Nyepi lokal itu masih dipertahankan,
seperti Nyepi Desa di Buahan (Gianyar), Ulakan (Karangasem), Nyepi Sagara di Kusamba
dan Jungut Batu (Klungkung), Nyepi Luh dan Nyepi Lanang di Ababi (Karangasem),
dan sejumlah tradisi Nyepi yang unik dan otentik lainnya. Kesediaan Bali
berikhtiar memperkuat bangunan Republik Indonesia justru lahir karena jaminan
yang diberikan para pendiri bangsa ini melalui konstruksi konstitusi yang
menghormati, mengayomi dan merawat keberagaman.
Keberatan terhadap Nyepi juga refleksi dari begitu kuatnya cara
pandang dan sikap hidup materialistik dan hedonis. Tradisi Nyepi tidak saja
mendorong manusia untuk sesaat berhenti melayani kebutuhan fisikalnya, seperti tidak
bekerja dan tidak bepergian, tetapi juga bersedia menyurukkan diri pada
keheningan dan kegelapan terdalam untuk menyelami suara batin.
Dalam maknanya secara spiritual, Nyepi merupakan momentum
untuk berdialog dengan diri sendiri. Nyepi membuka ruang untuk menyelami
suara-suara di kedalaman batin, yang di tengah hiruk-pikuk kehidupan teramat
sering terabaikan, tak terhiraukan.
Tradisi Bali memaknai Nyepi sebagai cara memuliakan dan mensyukuri
karunia kehidupan. Namun, sungguh, tidak mudah mewujudkan Nyepi sejati, Nyepi
yang sebenar-benarnya Nyepi. Nyepi yang tak semata ditandai dengan sepi di luar
diri, tetapi juga hening di dalam diri. Lantaran Nyepi sejati menuntut
kesediaan dan kesetiaan berdamai dengan diri sendiri.
Nyepi senantiasa menghadirkan tantangan bahkan gangguan.
Karena ini perjalanan menjelajahi alam diri yang mahaluas, tantangan dan
gangguan terhebat tentu saja berasal dari dalam diri sendiri. Tantangan pertama
dan terutama tiada lain kemauan dan kesediaan untuk menjalani sepi itu sendiri.
Banyak orang tidak siap menerima sepi sebagai karunia yang patut disyukuri.
Bagi mereka, sepi laksana penjara dengan terali besi yang membelenggu. Pada
akhirnya mereka pun mencaci maki sepi. Bagi orang-orang ini, kebebasan adalah
keluar dari belenggu sepi.
Sebaliknya, ada orang yang merindukan sepi, menunggu-nunggu
datangnya sunyi. Berbeda dengan orang-orang memandang sepi sebagai belenggu,
justru bagi orang-orang pemuja sunyi, sepi adalah kebebasan. Bagi mereka, sepi
bukan semata membebaskan dari kebisingan dan kekalutan hidup, tetapi juga
menerbitkan energi baru bagi lahirnya kehidupan yang lebih segar. Seperti
halnya Einstein yang mensyukuri karunia sunyi karena dari sepi dan hening tatkala
mengamati jatuhnya buah apel dari pokoknya membuatnya melahirkan teori
relativitas. Atau, Thomas Alva Edison yang justru mampu menciptakan bola lampu
di tengah keheningan dan kegelapan.
Nyepi bukanlah sekadar hari raya orang Hindu atau sebatas
tradisi orang Bali. Nyepi merupakan kebutuhan zaman di tengah hiruk pikuk dunia
yang tanpa batas. Hanya dengan menghayati sepi, kita menemukan jalan pembebasan menuju lahirnya energi kreatif dan inovatif.
Selamat Hari Nyepi Tahun Baru Saka 1939. (b.)
Teks: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar