Tak ada kata
yang lebih populer kini di Negeri ini selain hoax. Bukan hanya anak-anak muda atau pun penguna internet yang
menggunakannya, belakangan juga para politisi dan pemimpin bangsa ini makin
kerap mengucapkannya. Hoax jadi makin
tersohor karena dampak yang ditimbulkan begitu serius: kegoncangan publik, bahkan mengancam keutuhan bangsa ini. Pasalnya,
banyak orang malah mempercayai informasi hoax
itu dan menjadikannya dasar dalam bertindak.
Situasi ini
menimbulkan kegelisahan berbagai pihak. Mantan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sampai harus mengirim ciutan di Twitter, menunjukkan kegundahannya
mengenai kian merebaknya hoax.
Pemerintah juga tampak tak main-main menangani masalah hoax ini dengan menyiapkan perangkat aturan dan tim yang
mengurusinya.
Hoax sering dimaknai sebagai berita
bohong atau berita palsu. Wikipedia menyebut, kata hoax secara etimologis berasal dari kata Hocus yang berarti ‘menipu’. Hocus
juga dikenal sebagai mantra sulap, kependekan dari "Hpcus Pocus".
Istilah hoax mulai populer setelah dirilisnya
film berjudul The Hoax pada tahun
2006. Film yang dibintangi Richard Gere dan disutradarai Lasse Hallstrom ini
diangkat dari buku yang berjudul sama karya Clifford Irving. Skenario film ini
ditulis William Wheeler. Meski diangkat dari buku, cerita film ini justru
banyak mengalami perubahan sehingga versi filmnya tidak mirip sama sekali
dengan buku. Namun, film ini begitu populer hingga membuat orang menggunakan
istilah hoax untuk menggambarkan
suatu kebohongan.
Sesungguhnya, hoax atau penyebaran informasi palsu
bukanlah suatu hal yang baru. Sepanjang sejarah umat manusia, informasi palsu
kerap kali dijadikan alat untuk mempengaruhi pendapat publik sehingga tujuan
utamanya tercapai.
Dalam dunia
intelijen atau pun perang, penyebaran informasi palsu justru kerap dijadikan
salah satu pilihan strategi agar bisa menguasai keadaan di tengah-tengah
masyarakat. Kini, dalam dunia politik yang amat bertumpu pada persepsi publik,
penyebaran informasi palsu menjadi bagian dari strategi kampanye untuk
menjatuhkan lawan di satu sisi dan meraih dukungan publik di sisi lain.
Yang menjadi
masalah, manakala hoax juga menyentuh
daerah amat sensitif, seperti latar belakang suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Di tengah kondisi publik yang memiliki sensitivitas
tinggi terhadap isu-isu SARA di satu pihak dan tidak memiliki kecukupan
kapasitas, waktu, dan akses untuk mengkonfirmasi kebenaran suatu informasi di
pihak lain, memicu ketegangan sosial bahkan sampai menjelma kerusuhan massa.
Menarik
mencermati fenomena hoax dikaitkan
dengan perayaan hari Tumpek Landep di kalangan umat Hindu yang jatuh pada Sabtu
(4/2). Ada sesuatu yang bisa diurai dari dua hal itu.
Tumpek Landep
memang lebih dikenal umat Hindu sebagai hari pemujaan kepada Sang Hyang
Pasupati, Tuhan dalam manifestasi sebagai penguasa segala senjata dan berbagai
macam peralatan dari besi, logam, dan lainnya. Melalui perayaan Tumpek Landep,
umat Hindu menyampaikan rasa syukur sekaligus memohon agar segala senjata dan
perlengkapan dari besi, logam dan lainnya itu semakin tajam, bertuah, dan
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dalam makna
kontemporer, Tumpek Landep dimaknai sebagai hari teknologi ala Bali, ala Hindu.
Senjata dan berbagai perlengkapan dari besi dan logam itu merupakan cerminan
teknologi pada zamannya yang juga masih berperan penting di masa kini.
Pencapaian teknologi itu membantu manusia menjalani hidup dan kehidupannya.
Namun,
pencapaian teknologi itu tidak terlepas dari kemampuan manusia mencapai
“ketajaman pikiran dan logika”. Hanya dari pikiran dan logika yang tajam,
manusia bisa mencipta teknologi, baik dalam wujud fisik maupun nonfisik. Karena
itu, perayaan Tumpek Landep juga mendapat pemaknaan baru sebagai peringatan
kepada umat manusia untuk senantiasa mengusahakan pikiran yang tajam, logis,
kritis, dan konstruktif. Teks-teks tradisional Bali membahasakannya sebagai landeping idep.
Banjir informasi hoax begitu mudah mendapat mangsa tidak
bisa dilepaskan dari ketidakmampuan berpikir tajam, logis, kritis, dan
konstruktif. Sejak lama masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat gosip.
Ironisnya, cara berpikir yang sarat gosip ini juga merasuki para tokoh, para
pemimpin, bahkan juga para akademisi yang hidup dalam tradisi berpikir rasional
sekali pun. (b.)
Teks: Ketut Jagra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar