Petang menjelang, Rabu (9/11). Namun, suasana
di rumah Ketut Miasa di Banjar Sepang Kelod, Desa Sepang, Kecamatan Busungbiu, Buleleng, masih ramai. Meski menampakkan wajah-wajah lelah, semua
kerabat setia menemani Ketut Miasa dan pasangannya, Luh Abdihari, menapaki
setiap rangkaian upacara pawiwahan
menurut adat Bali. Sejak subuh, mereka sudah berkumpul untuk menjadi saksi
ikatan cinta Miasa dan Abdihari. Prosesi yang ditunggu-tunggu pun tiba sudah.
Warga Sepang menyebutnya sebagai tradisi Tegak Gede atau Linggih Ageng.
Tradisi ini
sebetulnya amat bersahaja. Di halaman rumah sudah tergelar sebuah meja makan
agak panjang. Di atas meja tersaji 11 tanding
hidangan makanan yang terdiri atas segenggam nasi putih, sejumput lawar, beberapa tusuk sate serta
semangkuk jukut ares. Sajian itu dihadapi 11 orang yang berasal dari keluarga
mempelai laki-laki dan perempuan serta Kelian Dinas Banjar Sepang Kelod, I
Ketut Jasa. Kedua mempelai duduk di ujung meja menghadap seperangkat sesaji (banten) khusus.
Tetua keluarga,
Putu Sudarta, membuka prosesi dengan menyampaikan permakluman kepada keluarga
mempelai perempuan mengenai adanya tradisi Tegak Gede ini. “Kami sudah mewarisi
tradisi ini secara turun-temurun dan wajib kami laksanakan manakala ada salah
satu anggota keluarga kami melangsungkan upacara pernikahan,” kata Putu
Sudarta.
Tradisi Tegak
Gede pun dilanjutkan dengan kegiatan membasuh tangan secara bergiliran yang
dilakukan kesebelas krama peserta
Tegak Gede. Namun, usai membasuh tangan tidak lantas dilanjutkan dengan
menyantap sajian seperti lazimnya. Basuhan tangan pertama itu sebagai pertanda kelian banjar yang menjadi perwakilan prajuru adat dan prajuru dinas menyampaikan pesan-pesan spiritual dan kultural.
“Mulai hari ini,
kami nyatakan pasangan Ketut Miasa dan Luh Abdihari secara resmi menjadi krama
Desa Adat Sepang dan warga dinas Desa Sepang Kelod dengan segala hak dan
kewajibannya,” kata Kelian Dinas Banjar Sepang Kelod, I Ketut Jasa.
Jasa lantas
memberikan pesan-pesan kepada kedua mempelai untuk memahami status baru yang
diembannya sebagai krama. Kedua
mempelai juga diingatkan untuk merawat ikatan pernikahan mereka sampai akhir.
Setelah
pernyataan pengesahan pengantin selesai, kelian
banjar memotong nasi tumpeng yang berada di sesaji khusus yang dihadapi kedua
mempelai. Satu potongan dipersembahkan di tanah dilengkapi dengan segehan. Satu potongan diberikan kepada
kedua mempelai. Satu potongan lagi diberikan tiap sejumput kepada para peserta
Tegak Gede.
Selanjutnya, para
peserta tradisi Tegak Gede kembali membasuh tangan secara bergiliran. Basuhan
tangan kedua kali ini langsung diikuti dengan mempersilakan para peserta Tegak
Gede menikmati sajian. Para kerabat yang hadir, meski tidak ikut menjadi
peserta Tegak Gede, juga turut dipersilakan menikmati hidangan yang disediakan
tuan rumah.
Usai menikmati
santapan, para peserta kembali membasuh tangan secara bergiliran. Tradisi Tegak
Gede lantas diakhiri dengan merobek janur pada sesaji peras oleh para peserta Tegak Gede secara bergiliran. Ini pertanda
seluruh rangkaian tradisi Tegak Gede sudah berakhir.
Ketut Jasa
menjelaskan, Tegak Gede merupakan tradisi khas Desa Adat Sepang yang
dilaksanakan setiap kali ada krama desa
itu yang melangsungkan upacara pernikahan. “Namun, tradisi ini hanya khusus
untuk krama laki-laki atau berstatus
meminang, bukan dipinang. Kalau krama
perempuan atau dipinang, tradisi ini tidak dilaksanakan,” kata Jasa.
Tradisi Tegak
Gede sesungguhnya semacam pengesahan upacara pernikahan secara adat. Adanya
jamuan bersama sebagai ciri tradisi ini menunjukkan adanya rasa syukur atas
hadirnya krama baru. Setiap warga
yang menikah secara otomatis menjadi
krama desa dengan segala hak dan
kewajiban yang melekat.
Di masa lalu,
tutur Jasa, tradisi Tegak Gede dilaksanakan secara ketat. Peserta Tegak Gede
adalah 33 krama adat wed (warga asli
yang menjadi pionir) di Desa Adat Sepang. Memang, di Desa Adat Sepang, yang
disebut krama adat wed sebanyak 33
keluarga. Keluarga-keluarga lain menjadi penopang.
“Namun, karena
perkembangan zaman, di samping tempat dan waktu yang terbatas, tradisi Tegak
Gede ini disesuaikan. Keluarga mempelai bisa mengambil tingkatan terendah dari
tradisi ini, yakni melibatkan 11 peserta. Tapi, pesertanya diambil dari
keluarga kedua mempelai disaksikan prajuru
desa,” kata Jasa.
Hingga kini,
warga Desa Adat Sepang, tetap menjaga tradisi Tegak Gede ini. “Kami bersyukur
mewarisi tradisi yang sarat makna ini. Kami pun bangga melanjutkan tradisi
ini,” tandas Ketut Miasa. (b.)
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar