Perayaan hari Galungan, Rabu (7/9) lalu
menjadi istimewa bagi keluarga I Putu Sudarta di Desa Tista, Busungbiu,
Buleleng. Pasalnya, pada hari yang disebut-sebut sebagai hari kemenangan itu,
keluarga Putu Sudarta melangsung ritual khusus: naur sesangi dewa hyang. Upacaranya terbilang agak besar karena di-puput seorang sulinggih serta menghadirkan upasaksi dari catur warga (empat kelompok warga).
Sesangi
yang ditunaikan keluarga Putu Sudarta berupa mempersembahkan babi guling akelan
(enam ekor) lengkap dengan beragam sesaji. “Ini sesangi (kaul) leluhur kami di masa lalu. Sebagai generasi penerus,
sudah sepantasnya kami menunaikannya dengan tulus ikhlas,” kata Sudarta.
![]() |
Prosesi naur sesangi keluarga almarhum I Made Nadi (balisaja.com/suminten) |
Di masa lalu, ayah Putu Sudarta, almarhum
Made Nadi, menderita sakit keras. Paman Made Nadi yang kala itu merawatnya
sudah menggunakan segala upaya agar kemenakannya sembuh. Dalam proses mencapai
kesembuhan itulah, sang paman yang sudah newata
(distanakan di sanggah kemulan) bernazar
akan membuatkan upacara otonan bagi
sang kemenakan dilengkapi dengan akelan
(enam ekor) babi guling.
Sampai akhirnya Made Nadi berpulang,
April lalu. Saat nunasang, barulah
terungkap adanya sesangi ngaturang guling
akelan itu. Setelah melalui rapat keluarga, diputuskan untuk menunaikan sesangi itu tepat saat otonan (hari kelahiran) sang ayah.
Kebetulan, otonan almarhum Made Nadi
bertepatan dengan hari Galungan.
“Kami bersyukur karena bisa
menunaikan sesangi leluhur kami dengan hati riang dan lapang. Semua keluarga datang.
Ini kebahagiaan tak terkira,” imbuh I Made Oka Andi Wirawan, putra keenam Made
Nadi.
Tradisi naur sesangi memang jamak dalam kehidupan masyarakat Bali. Ini
semacam membayar kaul karena doa atau harapan tercapai. Namun, naur sesangi dalam tradisi Bali bukan
sekadar membayar kaul atau menunaikan janji diri, tetapi ada unsur niskala (metafisik).
“Naur
sesangi itu ada kaitan dengan aspek-aspek niskala. Itu sebabnya, naur
sesangi biasanya dilengkapi dengan ritual-ritual tertentu,” kata Ketua
Jurusan Sastra Bali Universitas Udayana, I Wayan Suardiana.
Biasanya, orang masesangi saat tertimpa musibah, sakit atau pengharapan agar sukses
dalam suatu hal, seperti lulus ujian, lulus seleksi pegawai negeri sipil (PNS),
dan lainnya. Seseorang yang mengidap sakit dan lama tidak sembuh, akhirnya
berserah diri kepada Tuhan memohon kesembuhan. Apabila benar-benar sembuh,
orang itu pun berjanji akan mempersembahkan sesaji tertentu. Tatkala sudah
benar-benar sembuh, janji mempersembahkan sesaji itu pun ditunaikan. Begitu
juga, seorang pemuda yang berharap sekali lulus ujian seleksi PNS, lantas
berdoa kepada Tuhan, memohon agar diberi kekuatan menjalan ujian dan bisa
lulus. Bila lulus, dia berjanji akan mempersembahkan guling. Setelah
benar-benar lulus ujian seleksi PNS, janji mempersembahkan guling itu pun
dibayar.
Karena itu, naur sesangi sebetulnya sebentuk ungkapan rasa syukur dan terima
kasih ke hadapan Tuhan karena segala doa, harapan dan usaha yang dilakukan
berhasil sesuai keinginan. “Naur sesangi
itu cerminan sikap budaya orang Bali yang percaya bahwa segala doa dan usaha
dalam kehidupan ini melibatkan Tuhan. Segala sesuatu yang terjadi atas perkenan
Tuhan. Itu sebabnya, manusia wajib bersyukur,” kata Suardiana.
![]() |
Enam ekor babi guling yang dipersembahkan dalam upacara naur sesangi. (balisaja.com/suminten) |
Namun, dosen Sastra Bali di FPBS
IKIP PGRI Bali, Ida Bagus Oka Manobhawa mengingatkan sesangi sebetulnya sebuah praktik budaya Bali yang menselaraskan
antara ucapan, pikiran dan tindakan. Jika seseorang berani berucap, selayaknya
siap memenuhi ucapan itu.
Di beberapa tempat di Bali, sesangi juga dikenal dengan sebutan
lain, saud munyi. Saud munyi itu artinya ucapan yang
melampaui atau melewati. Memang tidak sepenuhnya sama antara sesangi dan saud munyi. Namun, makna kedua tindakan tuturan itu tak jauh
berbeda.
“Naur
sesangi juga bisa dimaknai sebagai peringatan agar betul-betul menjaga
ucapan itu. Kalau kita salah ucap, kita harus siap dengan konsekuensinya,” kata
Oka Manobhawa.
Kerap pula terjadi, imbuh Oka
Manobhawa, sesangi itu tidak sempat
ditunaikan karena orang yang masesangi
meninggal dunia. Sebab lain, karena manusia sering lupa, sesangi juga tak jarang terlupakan. Akhirnya, sesangi itu baru diketahui setelah orang yang meninggal itu hendak
diupacarai. Sesangi pun akhirnya
mesti ditunaikan pratisentana atau
generasi penerus.
Itu mungkin sebabnya, orang-orang
tua Bali senantiasa mengingatkan agar berhati-hati menyampaikan sesangi karena sesangi itu utang yang harus dibayar. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar