Karena LPD diakui oleh UU LKM sebagai lembaga keuangan khusus yang diatur berdasarkan hukum adat, semestinya penyelesaian kasus-kasus LPD mengedepankan hukum adat.
Penyelesaian atas kasus-kasus
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali mesti mengedepankan hukum adat. Hal ini
sebagai konsekuensi logis dari pengakuan dan penegasan Undang-Undang (UU) Nomor
1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terhadap LPD sebagai lembaga
keuangan khusus milik desa adat yang tidak tunduk terhadap UU LKM melainkan
diatur berdasarkan hukum adat.
Penegasan ini disampaikan Ketua
Badan Kerja Sama (BKS) LPD se-Kabupaten Badung, I Ketut Madra. Dia menanggapi mengemukanya
beberapa kasus LPD di Bali yang cenderung dibawa ke jalur hukum positif. Seyogyanya,
kata Madra, kasus-kasus itu diselesaikan dulu berdasarkan hukum adat melalui
mekanisme peradilan adat. Apabila mentok, barulah diselesaikan ke jalur hukum
positif.
Kegiatan pelayanan nasabah di LPD Pecatu, salah satu LPD terbaik di Badung, yang memiliki pararem khusus mengenai LPD sebagai payung hukum pengelolaan LPD. (Courtesy LPD Desa Adat Pecatu) |
Ketua LPD Kedonganan ini
mengapresiasi langkah Desa Adat Kapal yang memilih mengedepankan penyelesaian kasus
LPD di sana secara hukum adat. “Itu sudah tepat dan harus didukung karena
sesuai dengan amanat UU LKM dan pasal 18B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” kata
Madra.
Dalam pandangan Madra yang juga
Sarjana Hukum ini, jika permasalahan LPD diselesaikan berdasarkan hukum
positif, justru langkah itu melanggar UU. Aparat penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan serta pengadilan, diharapkan Madra, juga harus memahami
kekhasan LPD yang diakui UU dan mestinya secara konsisten melaksanakan amanat
UU itu.
Madra pun menyitir pendapat hakim
Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gde Palguna, saat berbicara dalam semiloka “Penguatan Adat dan Budaya Bali Melalui
Peningkatan Peran dan Kedudukan LPD Pasca-UU LKM” di Denpasar, Jumat (26/8)
lalu yang menegaskan, LPD memiliki landasan konstitusional yang kuat, baik
sebelum maupun sesudah dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945. Pasal 39 ayat
(3) UU LKM yang mengakui LPD diatur berdasarkan hukum adat, tidak dapat
ditafsirkan lain selain sebagaimana tertulis secara tegas dalam rumusan itu.
“Pandangan hakim MK itu mestinya
tidak lagi membuat para pemilik dan pengelola LPD, pemerintah daerah dan pihak
terkait ragu terhadap posisi LPD yang diatur berdasarkan hukum adat,” kata
Madra.
Lebih jauh Madra menjelaskan, Majelis
Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali sebagai wadah tunggal desa pakraman di
Bali sudah merumuskan model penyelesaian kasus-kasus LPD berdasarkan hukum
adat. MUDP Bali sudah mengeluarkan Keputusan Paruman Agung MDP III No.
007/SK-PA III/MDP Bali/VIII/2014 tentang Pararem
LPD yang menguraikan tata cara dan tahapan penyelesaian atas kasus-kasus LPD di
Bali.
“Pararem LPD Bali itu diputuskan
dalam forum tertinggi MUDP yang dihadiri seluruh bendesa adat se-Bali,” tegas
Madra yang juga prajuru MUDP Bali.
MUDP Bali, kata Madra, juga sudah
membentuk Dewan LPD Bali yang diberi mandat menyusun sistem keuangan adat Bali
untuk mengatur keberadaan LPD di Bali. Dalam konstruksi Dewan LPD Bali, akan
dibentuk badan khusus yang menangani kasus-kasus LPD.
Namu, Madra yang juga Sekretaris
Dewan LPD Bali menambahkan, sementara menunggu pembentukan Badan Peradilan LPD
di Dewan LPD Bali, masing-masing desa pakraman sudah memiliki awig-awig atau pararem yang bisa dijadikan dasar untuk menangani kasus LPD di desa
pakraman bersangkutan. Prajuru desa, krama desa, pemerintah dan aparat
penegak hukum mesti menghormati hak otonom desa pakraman melaksanakan hukum
adatnya itu dengan memberikan kesempatan desa pakraman menyelesaikan sendiri
terlebih dulu kasus LPD itu berdasarkan awig-awig-nya.
Sebagai pelaksana UU, menurut Madra,
pemerintah daerah, baik di provinsi maupun kabupaten/kota semestinya mendorong
agar kasus-kasus LPD diselesaikan berdasarkan hukum adat Bali. Bukan malah
sebaliknya, pemerintah daerah malah mendorong penyelesaian secara hukum
positif.
Penyelesaian kasus-kasus LPD secara
hukum adat, imbuh Madra, bukan saja karena sesuai amanat UUD 1945 dan UU LKM
yang menguatkan otonomi desa adat, penyelesaian berdasarkan hukum adat
memperkuat karakteristik LPD sebagai lembaga keuangan khusus dan khas yang
berbeda dengan bank, koperasi maupun lembaga keuangan umum lainnya.
Pemerintah daerah pun, kata Madra,
mesti melakukan koreksi diri karena kemunculan kasus-kasus LPD juga menjadi
indikasi kurang efektifnya pembinaan yang dilakukan pemerintah melalui Lembaga
Pembina LPD. Dia mencontohkan kasus LPD Kapal yang kini menjadi sorotan
ditengarai terjadi sejak tahun 2013.
Secara khusus Madra juga
mengingatkan agar semua pihak berhati-hati menggunakan terminologi ‘korupsi’
serta ‘kerugian negara’ atas kasus pengelolaan keuangan di LPD. Pasalnya, dana
di LPD adalah dana krama desa adat,
bukan uang negara. (*)
Teks:
Sujaya
COMMENTS