Hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa
Gde Palguna menegaskan keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali
memiliki landasan konstitusional yang kuat, sebelum maupun sesudah dilakukannya
perubahan terhadap UUD 1945 bersamaan dengan diakuinya dan dihormatinya
keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat. UU LKM yang mengakui dan menegaskan
LPD diatur hukum adat merupakan penegasan atas UUD 1945. Karena itu, jika
Pemprov Bali ingin membuat Perda LPD, seyogyanya hanya sebatas mengakui bukan
mengatur operasional.
Pandangan Dewa Palguna ini
dikemukakan saat berbicara dalam semiloka dengan tema “Penguatan Adat dan
Budaya Bali Melalui Peningkatan Peran dan Kedudukan LPD Pasca-UU Nomor 1 Tahun
2013 tentang LKM” di Denpasar, 26 Agustus 2016. Semiloka digelar Forum
Pemerhati Ekonomi Adat Bali (FPEAB) dan diikuti para pengurus LPD, tokoh adat,
pemerhati adat dan LPD, unsur pemerintah dan berbagai pihak terkait.
![]() |
I Dewa Gede Palguna (sumber: www.mahkamahkonstitusi.go.id) |
Menurut Dewa Palguna, pengakuan
terhadap LPD sebagai lembaga keuangan khusus komunitas adat diberikan oleh
konstitusi secara implisit dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Sesudah
dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, pengakuan dan penghormatan itu diberikan
secara eksplisit. Itu sebabnya, menurut Dewa Palguna, keberadaan LPD diturunkan
dari pengakuan dan penghormatan Negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat,
sudah tepat jika UU LKM mengecualikan keberlakuan UU LKM terhadap LPD.
“Pasal 39 ayat (3) UU LKM tidak
dapat ditafsirkan selain sebagaimana yang tertulis secara tegas dalam rumusan
itu,” kata Dewa Palguna.
Namun, Dewa Palguna tetap menganggap
peran pemerintah daerah provinsi tetap dibutuhkan, misalnya dengan membuat
perda. Tapi, Dewa Palguna menegaskan perda itu lebih bersifat sebagai rekognisi
atau penegasan akan keberadaan LPD, bukan mengatur hal-hal yang bersifat
operasional yang berada dalam domain hukum adat yang berlaku di masing-masing
desa adat/pakraman itu.
“Mengapa provinsi, karena desa adat/pakraman itu wilayahnya tidak selalu
dibatasi oleh wilayah administratif satu kabupaten/kota. Perda provinsi yang
bersifat rekognisi itu dibutuhkan sebab berkaitan dengan ‘pembuktian’ syarat
‘diatur dalam undang-undang’,” kata Dewa Palguna.
Menurut Dewa Palguna, prinsip desa mawa cara dalam hukum adat Bali
tetap berpegang teguh pada prinsip negara
mawa tata, sebagaimana tercermin dalam syarat “tidak bertentangan dengan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Artinya, otonomi desa adat (desa pakraman) dalam “membuat” dan
memberlakukan hukum adatnya sendiri tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang yang diberlakukan Negara. Otonomi desa adat (desa pakraman) tidak berarti bahwa ia memiliki kedaulatan.
Satu-satunya kedaulatan dalam negara kesatuan ada pada Negara. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar