Orang boleh saja menyepelekan karya fiksi
karena kandungan imajinatifnya. Namun, kenyataan sejarah menunjukkan buku-buku
yang pernah dilarang, termasuk di Indonesia, umumnya merupakan karya fiksi. Ini
menunjukkan karya fiksi lebih dahsyat dari fakta dalam mengkritik kekuasaan.
Pandangan ini dikemukakan dosen
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unversitas Udayana, Maria Matildis
Banda saat menjadi narasumber dalam sesi dialog di sela-sela pameran buku-buku
yang pernah dilarang pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, Jumat
(23/9). Pameran digelar serangkaian perayaan HUT ke-58 FIB dan Badan
Kekeluargaan (BK) FIB ke-35.
Menurut Maria, karya fiksi, terutama
novel, bukan saja mengenai tokoh, alur dan alur, tetapi juga membawa perasaan,
roh dan jiwa.
![]() |
Pameran buku-buku terlarang di FIB Unud. (balisaja.com/sujaya) |
“Karya fiksi memiliki kelebihan dari
karya faktual karena mampu menyentuh rasa pembaca. Karya fiksi membawa rasa
kehidupan, rasa sejarah. Ini yang jauh lebih kuat dampaknya,” kata Maria.
Sastra, imbuh Maria, tidak hanya
mampu memasuki pikiran manusia, tetapi juga perasaannya. Manusia tidak hanya
digerakkan oleh pikiran, tapi justru yang jauh lebih kuat mempengaruhi sikap
dan tindakan manusia yakni perasaan.
Pramoedya Ananta Toer, salah seorang
pengarang yang karya-karyanya sering dilarang beredar, awalnya ingin menulis
sejarah Indonesia. Namun, dia lebih memilih menulis novel daripada karya
eksplanatif.
“Kalau menulis sejarah secara
eksplanatif, mungkin yang bisa tersampaikan hanya tahun dan catatan peristiwa.
Tapi, kalau menggunakan novel, perasaan sedih dan pedih ikut bisa
tersampaikan,” beber Maria.
Aspek rasa dalam karya fiksi itu
kemudian memasuki pikiran dan perasaan pembaca. Karena kemampuannya memasuki
pikiran dan perasaan manusia itulah, novel seringkali ditakuti kekuasaan. Novel
dianggap mengganggu kelanggengan kekuasaan.
“Alasan pelarangan buku umumnya
karena dianggap mengganggu stabilitas masyarakat. Itu artinya, fiksi menjadi
oposisi yang kuat bagi kekuasaan,” kata Maria yang juga seorang novelis ini.
Dosen Sastra Inggris FIB Unud, Wayan
Resen menambahkan adanya pelarangan terhadap buku-buku karya fiksi sudah
menunjukkan betapa pentingnya karya sastra dalam kehidupan. Pelarangan buku
yang didominasi karya-karya fiksi juga menunjukkan fungsi sosial karya sastra
dalam relasinya dengan kekuasaan.
Sepanjang sejarah Indonesia,
pelarangan buku terjadi di masa Orde Lama, Orde Baru, juga Orde Reformasi.
Pelarangan buku paling banyak terjadi pada masa Orde Baru.
“Setidaknya ada 200 lebih judul buku
yang pernah dilarang pada masa Orde Baru,” ungkap Maria.
Maria yang juga panitia HUT BKFIB
Unud menjelaskan pameran buku-buku yang pernah dilarang sejak masa Orde Lama,
Orde Baru dan Orde Reformasi digelar untuk mengingat dan merefleksi kasus
pelarangan buku yang pernah terjadi. Buku-buku yang dipamerkan merupakan
koleksi seorang kolektor yang tinggal di Jakarta. Buku-buku itu dipinjamkan
untuk dipamerkan dengan maksud mengingatkan civitas kampus Universitas Udayana
dan masyarakat umum mengenai kasus pelarangan buku dalam sejarah Indonesia.
“Pameran ini semata-mata untuk
tujuan akademik. Sebagai masyarakat akademik, kita perlu mengetahui dan
mendiskusikan pelarangan buku ini sehingga tidak sampai terulang lagi,” kata
Maria. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar