Buah bekul pernah menjadi legenda Bukit Badung. Kini bekul tinggal kenangan. Mengapa itu bisa terjadi?
Anak-anak di kawasan Bukit Badung,
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, kini nyaris tidak lagi mengenal
leksikon bekul. Bekul merupakan leksikon penanda sebuah jenis tanaman khas di
daerah kering yang banyak ditemukan di kawasan Bukit Badung, seperti Jimbaran,
Ungasan, Pecatu, Kutuh dan Mumbul. Hingga era tahun 1970-an, masih menjadi
primadona dan sumber pendapatan warga setempat. Akan tetapi, seiring makin
pesatnya perkembangan industri pariwisata dengan diikuti makin luasnya lahan
terbangnuni, bekul semakin sulit ditemukan
di Bukit Badung.
Kamus Bahasa Bali-Indonesia yang disusun I Wayan Warna (1991: 73) masih
memasukkan lema bekul sebagai ‘nama
pohon buah-buahan yang berbuah kecil-kecil rasanya sepat kelat’. Akan tetapi,
dalam Kamus Bahasa Bali: Bali-Indonesia,
Indonesia-Bali yang disusun Sri Resi Anandakusuma tidak ditemukan leksikon bekul.
![]() |
Buah bekul (bidara). (Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/40/Zizip_maurit_110716-15922_Fr_sntong.jpg) |
Dalam bahasa Indonesia, padanan
untuk kata bekul yaitu bidara atau
widara. Nama Latin untuk tumbuhan ini adalah
Ziziphus mauritiana.
Tanaman bekul dikenal juga di berbagai daerah di Indonesia dengan sebutan
berbeda, seperti widara (Sunda,
Jawa.) atau terkadang dipendekkan menjadi dara
saja (Jawa.); bukol (Madura.); ko (Sawu); kok (Rote); kom, kon (Timor); bĕdara (Alor); bidara
(Makasar, Bugis.); rangga (Bima);
serta kalangga (Sumba). Di negara
lain, sebutan untuk tanaman ini juga beragam, di antaranya: bidara, jujub, epal siam (Malaysia);
manzanitas (Filipina) zee-pen (Burma); putrea (Kamboja); than
(Laos); phutsaa, ma tan (Thai); tao, tao nhuc (Vietnam). Dalam bahasa Inggris
dikenal sebagai Jujube, Indian Jujube, Indian plum, atau Chinese
Apple; serta Jujubier dalam
bahasa Prancis (https://id.wikipedia.org/wiki/Bidara).
Tanaman bekul memiliki ciri khusus, yakni pohon serta daunnya berupa perdu,
buahnya bulat kecil, sedikit lebih besar dari kelereng. Buah bekul berwarna hijau ketika masih muda
dan beralih warna jadi kuning bila telah setengah masak dan berwarna cokelat
kemerahan bila telah masak.
Di masa lalu, warga Bukit Badung
biasanya memanfaatkan buah bekul
untuk bahan rujak. Salah seorang informan, I Nyoman Tingkat yang merupakan
warga Desa Kutuh, Kuta Selatan, Badung, menuturkan hingga tahun 1970-an, ibunya
masih menjual bekul ke Denpasar.
Bekul pun menjadi komoditas ikonik bagi Desa Kutuh dan sekitarnya. Bekul adalah
tanaman melegenda dari Bukit Badung.
Sejumlah sumber menyebut buah bekul juga bermanfaat bagi kesehatan.
Situs manfaatbuah.asia menyebut buah bekul mempunyai nilai nutrisi yang
tinggi, yaitu mengandung vitamin A, vitamin C, carotene, vitamin B kompleks, magnesium,
iron, potassium, anti-oksidan
bioflavonoids. Selain itu, buah bekul juga kaya bahan aktif phytokimia seperti asid triterpenoids, saponin,
alkaloid. Ada juga sumber yang
menyebut daun bekul memiliki
kandungan senyawa antibakterial yang sangat efisien untuk menyembuhkan penyakit
yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, seperti pilek, influenza, flu babi,
flu burung, bahkan HIV/AIDS. Buah, daun dan akar pohon bekul dapat digunakan
untuk membunuh sel kanker secara selektif tanpa merusak sel normal.
Perubahan
Lingkungan
Bekul
menjadi semacam representasi perubahan lingkungan yang dialami kawasan Bukit
Badung. Leksikon bekul semakin jarang
digunakan karena pohon bekul di Bukit Badung kian punah. Hal ini dikarenakan
kawasan Bukit Badung berkembang sebagai destinasi pariwisata. Industri wisata
memiliki karakteristik boros lahan. Banyak lahan kering yang di masa lalu
menjadi tempat tumbuh suburnya bekul kian terkikis karena berganti dengan
bangunan.
Di sisi lain, masyarakat di kawasan
Bukit Badung juga mengalami perubahan sosial, dari karakteristik masyarakat
agraris sebagai petani atau peternak menjadi masyarakat jasa di sektor
pariwisata. Jika dulu warga Bukit Badung menjadikan buah bekul sebagai
komoditas yang dijual di pasar-pasar di kawasan Denpasar, sejak tiga dasa warsa
terakhir mereka meninggalkan pekerjaan itu.
Mengacu kepada konsep diadik Bapak Linguistik modern, Ferdinand de Sausure tentang penanda dan petanda, bekul sebagai penanda kian terpinggirkan dalam kosa kata masyarakat
Bukit Badung karena petandanya sendiri semakin sulit ditemukan. Jika pohon bekul semakin punah, leksikon bekul akan menjadi kata arkhais.
Paribasa Bali
Patut disyukuri, walaupun bekul tidak tumbuh secara meluas di
Bali, tetapi masyarakat Bali mengenal tanaman ini melalui paribasa Bali (peribahasa dalam bahasa Bali). Masyarakat guyub
tutur Bali mengenal ungkapan, pilih-pilih
bekul, bakat buah bangiang. Terjemahan bebasnya: ‘pilih-pilih buah bekul, yang didapat malah buah bangiang. Buah bangiang adalah sejenis buah-buahan hutan yang mirip dengan bekul.
Paribasa
ini sebagai kiasan bagi orang yang perilakunya terlalu banyak pertimbangan
dalam menentukan pilihan. Harapannya mendapat yang terbaik, yang didapat justru
sama, bahkan lebih jelek.
Sampai sekarang, paribasa ini masih dikenal masyarakat
Bali. Makna paribasa ini mungkin
dipahami, akan tetapi makna leksikal pembentuk paribasa ini, khususnya leksikon bekul semakin tidak dikenali.
Teks:
Sujaya
Saya tertarik akan menanam buah bekel, apakah saya bisa di ajari untuk membudidayakan tanaman atau buah bekul tersebut,,???
BalasHapus