Selasa (19/4) hari ini, masyarakat Gianyar kembali merayakan hari jadi kotanya. Perayaan ke-245 diisi dengan aneka kegiatan yang melibatka...
Selasa (19/4) hari ini, masyarakat Gianyar kembali merayakan hari jadi
kotanya. Perayaan ke-245 diisi dengan aneka kegiatan yang melibatkan masyarakat
Gianyar selama hampir sebulan penuh sejak 1 April hingga 24 April 2016.
Seperti lazimnya sebuah perayaan, HUT ke-245 Kota Gianyar juga sepantasnya
disambut dengan refleksi diri. Dalam refleksi diri itu, pemerintah dan
masyarakat Gianyar diharapkan bisa belajar dari sejarah masa lalunya untuk
menjadi lebih baik di masa kini dan masa depan.
![]() |
Punggawa Ubud hendak bersiap menghadap Raja Gianyar (balisaja.com/Repro: buku Bali Pada Abad XIX) |
Gianyar di masa silam memang lekat dengan jejak kelam. Gianyar di masa kerajaan adalah Gianyar yang kurang beruntung
karena terjepit oleh lawan-lawannya yang juga menjadi tetangga. Kondisi ini
kemudian melahirkan pilihan pragmatis penguasa Gianyar masa itu yakni
menyerahkan kerajaan di bawah kekuasaan dan perlindungan Belanda agar kerajaan
tidak hancur dan jatuh ke tangan musuh bertetangga.
Namun, ada dua
jejak berbeda dalam sejarah Gianyar yang menarik untuk disimak selain
jejak-jejak kelamnya. Jejak pertama yakni di pertengahan abad XIX. Raja Dewa
Manggis VII yang memerintah kerajaan Gianyar mengangkat seorang patih agung
yang ulung dari kaum Sudra yakni dua bersaudara, I Made Pasek dan I
Ketut Pasek. Seperti ditulis Ida Anak Agung Gde Agung dalam buku Bali Abad
XIX (1989) patih ini di mata raja dan masyarakat kerajaan Gianyar saat itu
dianggap sebagai seorang yang cakap dalam soal pemerintahan dan diplomasi.
Kepiawaian politik I Made Pasek disebut-sebut telah mengantarkan kerajaan
Gianyar disegani sebagai kerajaan yang berwibawa di Bali .
Hanya memang, karena tidak dari golongan bangsawan, kedua orang ini tidak
diangkat sebagai patih agung secara resmi.
Tatkala mengawini seorang wanita dari Desa Sukawati
yang kemudian diberi nama Jero Nyeri, Dewa Manggis VII mengangkat I Ketut Sare
atau I Ketut Sukawati sebagai patih agung. Sejak saat itu, peran I Made Pasek
tergantikan. Menurut Ida Anak Agung Gde Agung, sejak I Ketut Sare diangkat
menjadi patih agung, kerajaan Gianyar mengalami masa suram. Pasalnya, I Ketut
Sare dianggap tidak mempunyai pengalaman dalam soal pemerintahan, tidak pernah
mengenyam
pendidikan untuk menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan serta dalam masa
yang begitu genting akibat pertikaian politik Gianyar dengan Klungkung dan
Bangli.
Jejak kedua, pada dua dekade
permulaan abad ke-20. Ketika itu, Belanda mewajibkan orang Bali
berkasta rendah untuk menjalani kerja kasar tanpa upah setiap tiap tahun.
Kewajiban kerja rodi, menurut sumber-sumber Belanda, tidak dikenakan kepada
kelompok Triwangsa.
Mendapat beban
berat seperti itu, bukan berarti rakyat jelata Bali dari golongan Sudra tidak
melawan. Sumber-sumber Belanda menyebut terjadinya demonstrasi sekelompok warga
Sukawati, Gianyar pada tahun 1917. Ketika diganjar hukuman enam hari kerja
keras karena tak mau menjalani heerendienst,
136 lelaki dari Sukawati diiringi ratusan pendukung berarak-arakan ke kota Gianyar memrotes
keputusan itu. Malah, demonstrasi ini berakhir rusuh. Tercatat lima orang demonstran
terbunuh, 11 orang luka berat dan 26 orang ditangkap. Belanda terpaksa turun
tangan. Residen Belanda di Gianyar kemudian mengumumkan hukuman kerja keras itu
sudah dijalankan tanpa embel-embel apa pun lagi.
Kedua jejak ini
terasa paradoks, memang. Pada jejak pertama kita melihat adanya penghargaan
kepada kelompok masyarakat dari kelas bawah untuk turut berada dalam akses
kekuasaan. Sementara jejak kedua menggambarkan perjuangan kelas bawah yang
ingin disetarakan, tak ada diskriminasi.
Namun, catatan
penting yang bisa diberikan pada kedua jejak ini yakni pada adanya semangat
pembaruan. Jejak pertama menunjukkan adanya kesadaran penguasa untuk menghargai
kompetensi pribadi-pribadi terpilih dari rakyatnya yang pada masa itu dipandang
tidak lazim bahkan tidak tepat untuk menduduki suatu posisi terhormat dalam
elite kekuasaan. Pada jejak kedua kita melihat semangat pembaruan dari rakyat
Gianyar yang rindu melihat perlakuan yang setara dan sejajar.
Inilah
barangkali sumbangan kecil dari sejarah Gianyar di antara jejak-jejak masa
lalunya yang kelam. Dalam lipatan
masa silamnya, Gianyar ternyata mencatat sejarah pembaruan yang penting artinya
bagi sejarah Bali. Masyarakat Gianyar, tentu harus bangga dengan sejarahnya
ini. Dirgahayu Kota Gianyar dalam HUT ke-245. (b.)
Teks: Ketut Jagra
KOMENTAR