Seiring kian masifnya penetrasi media sosial dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, termasuk orang Bali, perayaan hari Nyepi beberapa tahun
terakhir senantiasa ditandai dengan keluh, kritik dan bahkan penghujatan
terhadap tradisi pergantian tahun khas Bali itu. Sejumlah orang, yang kebetulan
didominasi para pendatang yang berbeda keyakinan sehingga tak ikut merayakan
Nyepi, merasa terganggu dengan pelaksanaan tradisi hari Nyepi di Bali. Berbagai
larangan dalam perayaan Nyepi yang diberlakukan secara serentak di seantero
Bali, termasuk larangan bersiaran bagi lembaga penyiaran radio maupun televisi,
memunculkan tudingan bahwa orang Bali (Hindu) arogan. Kegemparan tentu saja
segera terjadi karena berbagai keluhan, kritik dan hujatan itu diungkapkan
secara terbuka di media sosial.
![]() |
Suasana Nyepi di Pantai Kuta |
Situasi ini sebetulnya cerminan dari betapa masih belum
kuatnya fondasi keberagaman dalam relasi sosial kita sebagai warga bangsa.
Keberagaman tidak sebatas menyadari bahwa kita berbeda satu sama lain, tetapi
juga ikhtiar untuk terus-menerus berusaha memahami dan menghormati satu sama
lain. Justru, pada kesediaan dan kesetiaan memahami dan menghormati satu sama
lain menjadi kunci merawat keberagaman. Para tetua di masa lalu membahasakannya
secara sederhana dalam peribahasa, “di mana bumi dipijak di situ langit
dijunjung”. Peribahasa ini hukum alam sekaligus hukum sosial yang berlaku
universal sebagai konvensi setiap makhluk dalam membangun relasi sosialnya.
Nyepi dalam konteks Bali bukan semata praktik keagamaan
orang Hindu, tetapi praktik tradisi orang Bali yang diwarisi sejak berabad-abad
silam, jauh sebelum Bali dengan kesadaran penuh bersepakat turut memperkuat
sebuah bangunan bangsa dan negara bernama Republik Indonesia. Di masa lalu,
Nyepi menjelma sebagai tradisi lokal yang begitu beragam tergantung kondisi
masing-masing desa adat. Jejaknya masih bisa dilacak kini karena banyak di
antara tradisi Nyepi lokal itu masih dipertahankan, seperti Nyepi Desa di
Buahan (Gianyar), Ulakan (Karangasem), Nyepi Sagara di Kusamba dan Jungut Batu
(Klungkung), Nyepi Luh dan Nyepi Lanang di Ababi (Karangasem), dan sejumlah
tradisi Nyepi yang unik dan otentik lainnya. Kesediaan Bali berikhtiar
memperkuat bangunan Republik Indonesia justru lahir karena jaminan yang
diberikan para pendiri bangsa ini melalui konstruksi konstitusi yang
menghormati, mengayomi dan merawat keberagaman.
Di sisi lain, penghujatan dan pelecehan terhadap perayaan
Nyepi juga refleksi dari begitu kuatnya cara pandang dan sikap hidup
materialistik dan hedonis. Tradisi Nyepi tidak saja mendorong manusia untuk
sesaat berhenti melayani kebutuhan fisikalnya, seperti tidak bekerja dan tidak
bepergian, tetapi juga bersedia menyurukkan diri pada keheningan dan kegelapan
terdalam untuk menyelami suara batin.
Dalam maknanya secara spiritual, Nyepi merupakan momentum
untuk berdialog dengan diri sendiri. Nyepi membuka ruang untuk menyelami
suara-suara di kedalaman batin, yang di tengah hiruk-pikuk kehidupan teramat
sering terabaikan, tak terhiraukan.
Tradisi Bali memaknai Nyepi sebagai cara memuliakan dan
mensyukuri karunia kehidupan. Namun, sungguh, tidak mudah mewujudkan Nyepi
sejati, Nyepi yang sebenar-benarnya Nyepi. Nyepi yang tak semata ditandai
dengan sepi di luar diri, tetapi juga hening di dalam diri. Lantaran Nyepi
sejati menuntut kesediaan dan kesetiaan berdamai dengan diri sendiri.
Nyepi senantiasa menghadirkan tantangan bahkan gangguan.
Karena ini perjalanan menjelajahi alam diri yang mahaluas, tantangan dan
gangguan terhebat tentu saja berasal dari dalam diri sendiri. Tantangan pertama
dan terutama tiada lain kemauan dan kesediaan untuk menjalani sepi itu sendiri.
Banyak orang tidak siap menerima sepi sebagai karunia yang patut disyukuri.
Bagi mereka, sepi laksana penjara dengan terali besi yang membelenggu. Pada
akhirnya mereka pun mencaci maki sepi. Bagi orang-orang ini, kebebasan adalah
keluar dari belenggu sepi.
Sebaliknya, ada orang yang merindukan sepi, menunggu-nunggu
datangnya sunyi. Berbeda dengan orang-orang memandang sepi sebagai belenggu,
justru bagi orang-orang pemuja sunyi, sepi adalah kebebasan. Bagi mereka, sepi
bukan semata membebaskan dari kebisingan dan kekalutan hidup, tetapi juga
menerbitkan energi baru bagi lahirnya kehidupan yang lebih segar. Seperti
halnya Einstein yang mensyukuri karunia sunyi karena dari sepi dan hening
tatkala mengamati jatuhnya buah apel dari pokoknya membuatnya melahirkan teori
relativitas. Atau, Thomas Alva Edison yang justru mampu menciptakan bola lampu
di tengah keheningan dan kegelapan.
Karena itu, Nyepi sungguh merupakan perjuangan. Mereka yang
sepenuh hati menyelami kesejatian Nyepi, tidak saja berjuang melawan kesunyian
dan kegelapan, tetapi juga melawan ambisi, ego, nafsu, amarah dan juga rasa
takut yang terus membuncah dalam diri. Tak terkecuali amarah karena merasa
kemuliaan hari Nyepi dilecehkan oleh orang-orang yang tidak turut merayakan
Nyepi.
Begitulah, Nyepi senantiasa berada dalam dinamika antara
sebagai belenggu dan karunia. Manakala ada segelintir orang yang menghujat
Nyepi karena menganggap sepi sebagai belenggu, maka tidak sedikit pula orang
yang mensyukuri Nyepi karena menganggap sepi sebagai karunia yang tak ternilai.
Mereka yang memandang Nyepi sebagai belenggu bukan hanya
pendatang non-Hindu yang tidak ikut merayakan Nyepi tetapi tak jarang juga
orang Bali-Hindu yang merayakan Nyepi. Inilah yang terjadi pada kasus orang
Bali-Hindu dengan bangga berswafoto (selfie)
di tengah jalan kampung saat Nyepi. Sebaliknya, mereka yang mensyukuri Nyepi
karena memandangnya sebagai karunia bukan hanya orang Bali-Hindu yang merayakan
Nyepi, melainkan juga pendatang non-Hindu yang tidak merayakan hari Nyepi
tetapi memilih bermukim di Bali saat Nyepi karena ingin mensyukuri karunia
indah sepi. (b.)
Teks: Ketut Jagra
Foto: Courtesy Wayan Satria Utama (Kuta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar