Perlu dirumuskan etika fotografer budaya Bali. Apa relevansi dan wujudnya?
Sebuah panduan etika memotret kegiatan dan ritual budaya
Bali bagi para fotografer perlu segera dibuat. Hal ini penting agar aktivitas
para fotografer mengambil gambar tidak malah mengganggu ritual yang disakralkan
serta tidak menimbulkan ketersinggungan masyarakat Bali selaku pendukung
kebudayaan itu. Hal ini disepakati dalam diskusi fotografi yang digelar
serangkaian HUT ke-228 Kota Denpasar di Rumah Budaya Penggak Men Mersi,
Denpasar, Kamis (25/2).
Diskusi ini dihadiri para fotografer yang biasa
mendokumentasikan kegiatan dan ritual budaya Bali, Majelis Madya Desa Pakraman
Kota Denpasar, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), akademisi, budayawan dan
para peminat fotografi. Diskusi yang dipandu Made Bayu Pramana ini dibuka Kabag
Humas Pemkot Denpasar, IB Rahoela mewakili Walikota.
![]() |
Made Widnyana Sudibya (kiri) dan AA Andi Sucirta (tengah) dalam diskusi Etika Fotografer Budaya Bali di Penggak Men Mersi Denpasar, Kamis (25/2). |
“Ini sebagai langkah awal untuk merancang sebuah rumusan
etika fotografi budaya dengan melibatkan komponen di bidangnya. Misalnya, kita
membuat buku saku untuk para fotografer,” kata Made Bayu Pramana.
Salah seorang pembicara, AA Andi Sucirta mengungkapkan seringkali
para fotografer tidak melakukan pendekatan secara mendalam ketika mengambil
objek sakral, seperti pelaksanaan ritual di sejumlah tempat di Bali. “Seorang
fotografer yang ingin mendokumentasikan agenda ritual budaya, bukan aktrasi
budaya, seharusnya memiliki penguasaan fotografi dengan baik. Subjek yang kita
foto itu penting dan memiliki nilai, sehingga harus diketahui dengan melakukan
riset terlebih dahulu. Banyak fotografer justru menggangap remeh hal ini,”
ucapnya.
Saat melakukan pemotretan ritual budaya Bali, sebaiknya fotografer
melakukan pendekatan dengan pemilik atau yang berwenang. Lebih dalam lagi melakukan
riset sehingga seorang fotografer benar-benar paham apa yang difoto. Andi
Sucirta juga menyinggung publikasi atas hasil dokumentasi di media sosial
semestinya fotografer memahami asas manfaatnya, bukan asal mempublikasikan.
Pembicara lain, Made Widnyana Sudibia mengungkapkan kasus etika
fotografer sudah beberapa kali terjadi. Widnyana Sudibya yang puluhan tahun
mendokumentasikan berbagai agenda ritual kebudayaan Bali ini menuturkan suasana
di zaman yang berbeda, yaitu era analog dan era digital, era kesepian dan era
hiru pikuk. Di saat teknologi berkembang seperti sekarang, justru para
fotografer jarang sekali melakukan proses pengenalan atas apa yang akan didokumentasikan.
Menurut pengalaman Widnyana, ada hal-hal yang memang harus
dipahami seorang fotografer sehingga bisa mengambil momen-momen yang memang sakral
namun diperbolehan untuk difoto. “Itu semua dilihat dari perilaku
fotografernya, kedekatan kita memahami kegiatan ritual,” ucapnya seraya
menyebutkan fotografer tak ubahnya seperti seorang jurnalis yang bekerja
berlandaskan konsep peliputan 5W + 1H.
Ia menyarankan, seorang fotografer berkenalan dengan subjek
foto, orangnya, pengurus adatnya, berbincang dengan mereka dan berusaha
mengetahui prosesinya. “Tidak mesti
motret ritual sedekat subjeknya. Dengan segerombolan fotografer menyerbu objek,
apa jadinya, jelas akan ada ketersinggungan. Kalau toh demikian ketika motret
sepak bola, apakah mesti langsung ke tengah lapangan bola motret, kan tidak?”
selorohnya.
Salah seorang fotografer peserta diskusi, Iwan Darmawan menambahkan
perlu ada konsep memecah objek dalam memotret kegiatan ritual budaya Bali. Artinya,
awak fotografer tak perlu lagi saling menunjukkan egonya, menyasar objek yang
sama tetapi terkadang saling merahasiakan. “Masih banyak objek ritual yang bisa
digali. Bukan saja satu objek yang sama kemudian dikeroyok beramai-ramai. Yang
terjadi malah saling bersinggungan. Para fotografer harus bisa menemukan hal-hal
yang baru,” saran Iwan.
Perwakilan Majelis Madya Kota Denpasar A.A Sudarsana
mengapresiasi diskusi tentang etika fotografer ini. Pihaknya siap dilibatkan
diri untuk ikut memberi sumbangsih pikiran merancang rumusan etika fotografer
dalam mendokumentasikan kegiatan ritual.
“Kami sangat membutuhkan dokumentasi, sebagai kepentingan
edukasi, pembangunan dan pemberdayaan, namun ada aturan dan etika. Nah, ini
yang kita minta, agar para fotografer bisa mematuhi aturan yang ada di setiap
desa adat,” katanya. (b.)
Teks dan foto: I Made Radheya
COMMENTS