Tumpek Wariga bisa dijadikan momentum untuk mengkampanyekan kesadaran menanam dan merawat pohon di kalangan masyarakat Bali.
Oleh: I MADE SUJAYA
Wuku Wariga kerap mendapat perhatian istimewa bagi orang
Bali. Pasalnya, pada pengujung wuku,
yakni Saniscara Kliwon wuku Wariga,
Sabtu (16/1) hari ini dirayakan sebagai hari Tumpek Wariga. Hari perayaan ini
memiliki sejumlah nama lain, seperti Tumpek Pengatag, Tumpek Uduh dan Tumpek
Bubuh. Lazimnya, saat Tumpek Wariga orang Bali membuat sesaji khusus yang
dipersembahkan kepada Tuhan dalam manifestasi sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan.
Itu sebabnya, pohon-pohon diupacarai saat Tumpek Wariga.
Para tetua Bali menyebut Tumpek Wariga sebagai hari
pemujaan Sanghyang Tumuwuh, Tuhan penganugerah kehidupan bagi segala yang
bertumbuh. Tempat pemujaan terbesarnya di Pura Luhur Batukaru, Tabanan. Secara
tradisional, perayaan Tumpek Wariga diwujudkan dengan mengupacarai pepohonan.
Salah satu sarana upakara yang khas dalam perayaan Tumpek Wariga, yakni bubur.
Itu mungkin sebabnya, Tumpek Wariga juga punya sebutan lain, Tumpek Bubuh.
Pendharmawacana (penceramah)
agama Hindu, I Ketut Wiana, bubur merupakan lambang kesuburan. Perayaan Tumpek
Wariga memang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah kesuburan yang
diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga segala macam tumbuhan bisa tumbuh
dengan baik. Tumbuh-tumbuhan itu yang kemudian menjadi sumber kehidupan utama
bagi umat manusia.
Belakangan, manakala tradisi keagamaan berbasis teks makin
mengakar, orang-orang menyebut Sang Hyang Tumuwuh sebagai Hyang Sangkara, Tuhan
dalam manifestasinya sebagai penganugerah dan pelindung tumbuh-tumbuhan. Dalam
ajaran agama Hindu, Sangkara memang dipersonifikasikan sebagai dewa penguasa
tumbuh-tumbuhan. Menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan
tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang
Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti
dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.
“Konsepsinya adalah sarwatumuwuh,
segala yang bertumbuh itu merupakan karunia terbesar Tuhan sehingga patut
disyukuri,” tandas Wiana.
Peneliti tradisi lisan dari Institut Hindu
Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Made Wiradnyana menyatakan tradisi perayaan Tumpek Wariga mesti dimaknai sejalan dengan perkembangan zaman secara kontekstual.
Tradisi perayaan Tumpek Wariga yang memberikan pesan penting tentang upaya
menjaga kelestarian lingkungan mesti direvitalisasi agar bisa menjawab
tantangan zaman.
Wiradnyana mencontohkan upaya melawan pemanasan global
dengan penanaman pohon. Menurut Wiradnyana, Tumpek Wariga bisa dijadikan
momentum untuk mengkampanyekan kesadaran menanam dan merawat pohon di kalangan
masyarakat Bali. Begitu juga membangun kesadaran yang kokoh untuk merawat hutan-hutan di Bali yang belakangan ditengarai luasannya kian menyusut.
Dengan kata lain, kata Wiradnyana, perayaan Tumpek Wariga tidak berhenti sebatas upacara atau ritual. Tradisi itu direvitalisasi dan direaktualisasi sesuai untuk menjawab permasalahan mutakhir yang dihadapi Bali kini, khususnya berkaitan dengan lingkungan.
Dengan kata lain, kata Wiradnyana, perayaan Tumpek Wariga tidak berhenti sebatas upacara atau ritual. Tradisi itu direvitalisasi dan direaktualisasi sesuai untuk menjawab permasalahan mutakhir yang dihadapi Bali kini, khususnya berkaitan dengan lingkungan.
“Dengan begitu, tradisi kita menjadi fungsional dalam tantangan
kehidupan masa kini serta teks tidak berjarak terlalu jauh dengan konteksnya,”
tandas Wiradnyana. (b.)
___________________________
Foto: I MADE SUJAYA
Penyunting: I KETUT JAGRA
KOMENTAR