Bentrok berdarah antara dua organisasi kemasyarakatan
(ormas) di Bali, Laskar Bali dan Baladika Bali, Kamis (17/12) di Kerobokan, Badung
dan Denpasar yang menewaskan empat orang, tak lagi sebatas mengundang keprihatinan,
melainkan memunculkan kegeraman sekaligus kekhawatiran di kalangan masyarakat
Bali. Pasalnya, kasus bentrokan semacam ini sudah berkali-kali terjadi.
Penyelesaian secara simultan antara proses hukum dan penandatanganan ikrar
perdamaian sudah kerap ditempuh. Kenyataannya, kasus serupa terus berulang.
Karena itu, bisa dimaklumi, jika di media sosial begitu
kencang berembus desakan agar pemerintah daerah, terutama Gubernur Bali,
bertindak tegas, jelas dan tuntas. Desakan yang seharusnya direspons nyata oleh
pemerintah. Lantaran memang begitulah fungsi pemerintah, menghadirkan Negara
secara nyata di tengah-tengah problematika rakyat, mencegah berkembangnya hukum
rimba. Ungkapan yang begitu populer kini: Negara tidak boleh kalah oleh
kelompok-kelompok anarkis.
![]() |
Orang Bali dalam suatu pementasan. |
Di luar langkah represif dan preventif, Pemerintah Bali
seyogyanya juga melakukan refleksi kultural atas fenomena bentrokan antarormas
yang kebetulan melibatkan sesama orang Bali itu. Banyak kalangan kini merasa
heran, mengapa orang Bali begitu beringas, bahkan dengan sesamanya sendiri.
Pasalnya, selama ini, manusia Bali tercitrakan sebagai etnis yang ramah, hangat,
ulet, dan penuh daya kreativitas. Senyatanya pun, orang Bali dibesarkan dalam
kultur agraris dan komunal yang begitu mementingkan harmoni tinimbang konflik.
Gubernur Mangku Pastika, tatkala masih menjabat Kapolda Bali pun pernah
melontarkan keheranan yang sama tatkala mengomentasi kasus orang Bali menyerang
dan merusak rumah sesama orang Bali hanya gara-gara masalah adat.
Namun, Geoffrey Robinson, sejarawan dari Universitas
Calfornia, Los Angeles pernah mengemukakan hasil penelitian menarik mengenai sisi
tersembunyi di balik citra elok manusia Bali. Menurut Robinson, citra orang
Bali yang harmonis itu dikonstruksi para pelancong Barat untuk tujuan
mempromosikan pariwisata Bali. Citra positif ini kemudian dilanjutkan
pemerintah Orde Lama, Orde Baru dan mencoba dipertahankan di era Reformasi ini.
Seperti ditulis dalam buku Sisi Gelap
Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, Robinson menemukan fakta, Bali
juga memiliki sisi buram.
Dalam catatan Robinson, wajah buram Bali itu terpampang
nyata pada abad ke-19. Kala itu intrik politik dan perang saudara tiada henti
berkecamuk di pulau mungil ini. Konflik antarkerajaan tiada henti berbiak, bahkan termasuk konflik di dalam kerajaan sendiri.
Yang agak mengejutkan, sejumlah pelancong asing yang
pernah ke Bali pada abad ke-19 memandang orang Bali jauh dari kesan periang,
artistik, bahagia dan cinta damai. Sebaliknya, orang Bali digambarkan sebagai
orang yang kasar, berangasan, cepat naik darah dan tak bisa dipercaya. Seorang
pelancong Belanda yang mengunjungi pulau ini pada tahun 1800 menggambarkan
orang Bali sebagai rakyat yang ganas, liar, khianat dan suka berkelahi.
Satu watak beringas manusia Bali yang sempat tercatat
dalam jejak sejarah yakni kebiasaan majejarah dan amuk. Kedua kebiasaan ini banyak disebut-sebut dalam sumber
Belanda. Lekkerkerker misalnya mencatat pada bulan September 1830 terjadi
kebakaran di perkampungan Cina di Kuta. Ribuan orang-orang Bali
menyerbu rumah-rumah yang terbakar itu. Kedatangan mereka bukannya memberikan
pertolongan, tetapi malah menjarah barang-barang orang-orang Cina itu.
Sampai-sampai raja memerintahkan warga Kuta untuk mengembalikan barang-barang
yang dijarah. Namun, warga tidak mau mengembalikannya.
Perihal perbuatan amuk bisa
diketahui juga dari laporan Dubois. Pada tahun 1825-1830 saat kedatangan utusan
Belanda, Kapten J.S. Wetters, sedang ramai-ramainya pengiriman calon-calon serdadu
yang diambil dari para budak. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan
masyarakat setempat. Saat itulah, seorang budak mengamuk, berbuat kalap
lantaran Kapten Wetters melarang sang budak mengajak istrinya ikut serta.
Sikap beringas dalam wujud
penyerangan terhadap penduduk desa lain juga banyak tercatat dalam
sumber-sumber prasasti pada masa Bali Kuno. Sebagaimana termuat dalam Prasasti
Cempaga C yang dikeluarkan Raja Bhatara Sri Mahaguru pada tahun 1264 Saka,
penduduk Desa Tumpuhyang menyerang Desa Cempaga yang merupakan desa
tetangganya. Penyerangan itu disertai dengan tindakan merampok, menawan dan
membunuh penduduk Desa Cempaga. Karena tidak mampu menghadapi serangan penduduk
Desa Tumpuhyang, penduduk Desa Cempaga pun pergi ke desa-desa lain
menyelamatkan diri.
Aksi serupa juga dilakukan penduduk Desa Baturaya yang merampas dan
menduduki sebagian wilayah Desa Tumbu. Seperti dimuat dalam Prasasti Tumbu yang
juga dikeluarkan Raja Bhatara Mahaguru tahun 1247 Saka, pendudukan ini juga
disertai dengan pembakaran rumah, perampokan dan pembunuhan. Prasasti Sembiran
A I juga memuat tentang penyerangan yang kerap dialami Desa Julah.
Fakta ini memperjelas bahwa aksi
kekerasan memang memiliki jejak masa silam di tengah-tengah kehidupan manusia Bali. Bahkan, ini yang amat ironis, keberingasan itu amat kerap
dilakukan terhadap nyama Bali sendiri.
Citra keras, ganas dan liar ini pula yang membuat diincarnya
orang-orang Bali untuk dijadikan tentara kolonial. Pengalaman tiga kali
pertempuran dengan pasukan kerajaan-kerajaan Bali pada paruh abad ke-19 memberi
pelajaran Belanda bahwa orang Bali sebagai lawan militer yang paling tangguh
yang pernah dihadapi tentara kolonial Belanda di Hindia Belanda.
Dalam cara pandang sosiologi modern, kekerasan dan
premanisme biasanya tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.
Apalagi jika pertumbuhan itu tidak diimbangi dengan pemerataan justru
membiakkan kesenjangan sosial yang amat menganga. Kompetisi di lapangan ekonomi
berlangsung tidak seimbang dan bahkan tidak sehat. Di tengah iklim yang tak
sehat semacam itu, ideologi kekerasan memang mendapatkan lahan yang subur. Sejumlah
daerah di Indonesia sudah pernah mengalami ini, di antaranya Jakarta dan Medan.
Karena itu, dibutuhkan rekayasa sosial yang menyentuh
permasalahan paling dasar problematika sosial yang tengah dihadapi masyarakat
Bali. Selain mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan mengurangi
jurang kesenjangan sosial, aspek budaya masyarakat Bali juga patut diperhatikan
secara sungguh-sungguh. Aspek budaya bukan semata dalam pengertian melestarikan
tradisi, apalagi sebatas seni atau semata-mata ajaran agama, tetapi ikhtiar
terus-menerus membangun interaksi sosial-kemasyarakatan yang dilandasi
kesadaran memuliakan kemanusiaan dan merawat peradaban. Dan, sungguh pula upaya
semacam ini, selain membutuhkan ketegasan dan keberanian, juga menghendaki keteladanan para pemimpin, contoh nyata para penguasa.
Bukan malah sebaliknya, menjadi bagian dari masalah membiaknya kekerasan. (b.)
Teks dan foto: Ketut Jagra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar