Ngaben itu ritual penyempurnaan jenazah. Menurut keyakinan orang
Hindu-Bali, ngaben sebagai ritual
pengembalian panca maha bhuta, lima
unsur pembentuk badan wadag manusia. Kelima unsur itu yakni perthiwi (zat tanah, serba keras atau
padat), apah (zat air atau yang
cair), teja (zat panas dan cahaya), bayu (udara) serta akasa (ether). Wujud ngaben
lazimnya berupa pembakaran jenazah.
Namun, sejumlah desa di Bali
melakoni ritual ngaben tanpa acara
pembakaran jenazah. Desa-desa itu umumnya terletak di daerah pegunungan,
pebukitan dan dataran tinggi lainnya. Sebut misalnya desa-desa di sekitar
Gunung Agung, Karangasem, atau pun desa-desa di sekitar kawasan Bukit, Badung
Selatan.
![]() |
Ngaben di Desa Adat Pecatu. (Sumber: buku Jejak Langkah LPD Desa Adat Pecatu) |
Biasanya, di sekitar desa-desa
yang berpantang membakar mayat itu terdapat pura besar sebagai kahyangan jagat. Misalnya, di kawasan
Bukit Badung Selatan terdapat Pura Luhur Uluwatu serta di kawasan Gunung Agung
terdapat Pura Besakih. Mitos yang berkembang di masyarakat setempat, abu dari
pembakaran jenazah bisa mengoroti kesucian pura kahyangan jagat di sana . Karenanya, pembakaran mayat tak bisa
dilakonkan.
“Kami sudah nami (mewarisi) tradisi seperti ini sejak dulu. Hingga kini kami
tetap mempertahankannya,” tutur mantan Bendesa Adat Pecatu, Wayan Rebong.
Di kawasan Bukit Pecatu serta
Ungasan, ngaben tetap dilakoni. Namun, yang dibakar bukanlah jenazah tetapi
sejumput tanah tempat dikuburnya jenazah tersebut. “Sejumput tanah dari tempat
penguburan jenazah itu sudah dianggap sebagai simbol jenazah,” tutur seorang
warga Ungasan, I Putu Gede Suwitha.
Lantas, bagaimana ajaran agama
Hindu memandang tradisi lokal ini? Ketua Bidang Lintas Iman Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) Pusat, I Ketut Wiana secara tegas menyebut tradisi-tradisi
lokal itu tidak bertentangan dengan ajaran Hindu. Pasalnya, inti upacara ngaben adalah pengembalian unsur-unsur panca maha bhuta.
“Dalam tradisi ngaben tanpa pembakaran jenazah itu
sesungguhnya sudah pula dilakukan pembakaran jenazah dengan menggunakan api Weda
yakni mantra agni pralina,” kata
Wiana yang juga tokoh masyarakat Bualu yang tiada mengenal tradisi pembakaran
jenazah.
Hal ini dikarenakan secara
filosofis yang dibakar dalam upacara ngaben adalah raga. Pembakaran raga ini
memang kerap diterjemahkan dengan pembakaran jenazah secara fisik. Padahal,
raga juga memiliki makna sebagai nafsu, indriya. Raga non-fisik inilah yang
dibakar dengan agni jnana, api suci
Weda yakni mantra sulinggih. Raga
secara fisik dikembalikan lewat perthiwi
melalui penguburan di dalam tanah atau melalui akasa seperti cara masyarakat
Trunyan yang menempatkan begitu saja jenazah di alam terbuka.
“Memang, yang paling praktis dan
cepat untuk mengembalikan kelima unsur-unsur itu adalah lewat pembakaran secara
fisik. Namun, pembakaran secara fisik tidaklah menjadi hal yang mutlak,”
imbuhnya.
Dalam titik inilah, menurut
Wiana, Hindu begitu terbuka terhadap tradisi-tradisi lokal sepanjang tidak
melanggar tattwa (filosofisnya).
Karenanya, model-model pelaksanaan ritual keagamaan di tiap-tiap daerah kerap
berbeda, beraneka-ragam.
Berkaitan dengan mitos yang
menyebut ketiadaan tradisi pembakaran mayat itu karena larangan mengotori
kesucian kahyangan jagat, menurut Wiana, merupakan sebuah mitos untuk
mengukuhkan kepercayaan masyarakat. Hal itu lebih dilihatnya sebagai cara lain
para tetua zaman dulu untuk mewariskan tradisi lokal itu.
“Kalau dicermati, alasan itu kan
tidak logis. Di mana-mana abu pembakaran termasuk pembakaran jenazah akan
terbang ke angkasa. Tapi, begitulah cara tetua kita mewariskan sebuah tradisi,”
ujarnya. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar